Powered By Blogger

Rabu, 12 Januari 2011

Perbedaan berfikir filsafat dan berfikir Filsafati


Berfikir filsafat
            Berfikir menurut Aristoteles adalah berbicara dengan dirinya sendiri di dalam batin. Sedangkan berfikir dengan benar mengandung pengertian mempertimbangkan, merenungkan, menganalisa, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan alasan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari bagaimana berbagai hal berhubungan satu sama lain, menarik kesimpulan, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi dan membahasakan suara realitas.
 Menurut para filsuf ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu kekaguman atau keheranan, keraguan atau kegengsian, dan kesadaran akan keterbatasan (Soetriono, 2007). Plato mengatakan: “Mata kita memberi pengamatan bintang bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat.”
            Augustinus dan Descartes memulai berfilsafat dari keraguan atau kesangsian. Manusia heran, tetapi kemudian ragu ragu, apakah ia sedang ditipu panca indranya yang sedang heran? Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk berfikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berfikir secara mendalam, menyeluruh, dan kritis inilah yang kemudian disebut berfilsafat (Soetriono, 2007).
            Menurut Soetriono (2007), berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang kadang dimulai apabila manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah, terutama dalam menghadapi kejadian-kejadian alam. Apabila seseorang merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa diluar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran hakiki.
            Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat berarti
mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau.
            Berfilsafat tentang ilmu berarti keterus terangan pada diri sendiri: apakah sebenarnya yang kita ketahui tentang ilmu itu? Apakah ciri ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lain yang bukan ilmu? Bagaimana mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteria apa yang dipakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa ilmu mesti dipelajari? Apa keguanaan ilmu yang sebenarnya? Berfilsafat berarti mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah diketahui.
            Menurut Soetriono (2007), pengertian filsafat dapat dirangkum menjadi berikut:
-          Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis
-          Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang paling mendalam
-          Filsafat adalah refleksi lebih lanjut daripada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan.
-          Filsafat adalah hasil analisis dan abstraksi
-          Filsafat adalah pandangan hidup
-          Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh.



Berfikir Filsafati
            Karakteristik berfikir filsafati adalah  sifat menyeluruh, sifat mendasar dan sifat spekulatif. Orang yang berfikir filsafati berarti orang tersebut membongkar tempat berpijak secara fundamental. Dia tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Lalu benar itu apa? Pertanyaan itu melingkar sebagai sebuah lingkaran yang untuk menyusunnya, harus dimulai dari sebuah titik, sebagai awal sekaligus sebagai akhir (Soetriono, 2007).
            Seorang ilmuan tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari sisi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan moral, dengan agama, dan apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya?.
            Menurut Soetriono (2007), dalam sifat spekulatif berfikir filsafati, tidaklah mungkin manusia menangguk pengetahuan secara keseluruhan, bahkan manusiapun tidak yakin pada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Itu hanya sebuah spekulasi. Menyusun sebuah lingkaran memang harus dimulai dari sebuah titik, bagaimanapun spekulatifnya. Yang penting dalam prosesnya nanti, dalam analisis maupun pembuktiannya, manusia harus dapat memisahkan spekulasi mana yang paling dapat diandalkan. Tugas filsafat adalah menetapkan dasar dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya?
            Semua pengetahuan dimulai dari spekulatif. Dari serangkaian spekulatif tersebut dapat dipilih buah pikiran yang paling dapat diandalkan, yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menerapkan apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang atas dasar pengetahuan. Tanpa menetapkan apa yang dimaksud baik atau buruk tidak mungkin bicara tentang moral.


DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Fakih, Mansour, 2009, Buntunya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSISTPress, Yogyakarta.
Soetriono & Rita Hanafie, 2007, Filsafat ilmu dan Metodologi Penelitian, Andi,      Yogyakarta.
Suriasumantri, Jujun, 1993, Filsafat ilmu sebuah pengantar Populer, Pustaka Sinar harapan, Jakarta.
Thoha, Mahmud, 2004, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan sosial & Humaniora, TERAJU, Jakarta.

Kegiatan Fakultas

FISIP UNTAG BANYUWAANGI

Beberapa kegiatan yang dilakukan Fakultas

Pendakian yang menyenangkan di Gunung Ijen

Sebelum Diskusi Mejeng dulu ah!

Foto Bareng sebelum KKL

Rowo Bayu Sangon
Kenang-kenangan dari Alumni
Yudisium Desember 2010

Dekanat Fisip Untag Banyuwangi

Temu Alumni 2010 Fisip Untag Banyuwangi

Foto Habis Kegiatan lomba-lomba
Rekreasi Ke Pulau Dewata

KKL di Desa Temu Asri 2010








Sabtu, 01 Januari 2011

POLITIK DAN PEMAHAMAN WAWASAN KEBANGSAAN

            Lunturnya Nasionalisme yang ada sekarang tidak bisa dilepaskan dari unsur pemahaman  tentang wawasan kebangsaan. Negara perlu memberikan pendidikan politis tentang ideologi yang dianut oleh bangsa ini.
            Nasionalisme bukan persoalan bagaimana ketaatan warga negara terhadap bangsa dan negaranya. Nasionalisme sekarang lebih bisa dipahami bagaimana mengisi kemerdekaan yang telah direbut dengan meneteskan darah dan air mata. Nasionalisme dalam konteks kontenporer sekarang ini seharusnya lebih dipahami bagaimana negara dalam memenangkan persaingan untuk mensejahterakan masyarakatnya.
Banyak kalangan yang melihat perkembangan politik, sosial, ekonomi dan budaya di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Bahkan, kekuatiran itu menjadi semakin nyata ketika menjelajah pada apa yang dialami oleh setiap warganegara, yakni memudarnya wawasan kebangsaan. Apa yang lebih menyedihkan lagi adalah bilamana kita kehilangan wawasan tentang makna hakekat bangsa dan kebangsaan yang akan mendorong terjadinya dis-orientasi dan perpecahan.
Pandangan di atas sungguh wajar dan tidak mengada-ada. Krisis yang dialami oleh Indonesia ini menjadi sangat multi dimensional yang saling mengait. Krisis ekonomi yang tidak kunjung henti berdampak pada krisis sosial dan politik, yang pada perkembangannya justru menyulitkan upaya pemulihan ekonomi. Konflik horizontal dan vertikal yang terjadi dalam kehidupan sosial merupakan salah satu  akibat dari semua krisis yang terjadi, yang tentu akan melahirkan ancaman dis-integrasi bangsa. Apalagi bila melihat bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural seperti beragamnya suku, budaya daerah, agama, dan berbagai aspek politik lainnya, serta kondisi geografis negara kepulauan yang tersebar. Semua ini mengandung potensi konflik (latent sosial conflict) yang dapat merugikan dan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.
Dewasa ini, dampak krisis multi-dimensional ini telah memperlihatkan tanda-tanda awal munculnya krisis kepercayaan diri (self-confidence) dan rasa hormat diri (self-esteem) sebagai bangsa. Krisis kepercayaan sebagai bangsa dapat berupa keraguan terhadap kemampuan diri sebagai bangsa untuk mengatasi persoalan-persoalan mendasar yang terus-menerus datang, seolah-olah tidak ada habis-habisnya mendera Indonesia. Aspirasi politik untuk merdeka di berbagai daerah, misalnya, adalah salah satu manifestasi wujud krisis kepercayaan diri sebagai satu bangsa, satu “nation”.
Apabila krisis politik dan krisis ekonomi sudah sampai pada krisis kepercayaan diri, maka eksistensi Indonesia sebagai bangsa (nation) sedang dipertaruhkan. Maka, sekarang ini adalah saat yang tepat untuk melakukan reevaluasi terhadap proses terbentuknya “nation and character building” kita selama ini, karena boleh jadi persoalan-persoalan yang kita hadapi saat ini berawal dari kesalahan dalam menghayati dan menerapkan konsep awal “kebangsaan” yang menjadi fondasi ke-Indonesia-an. Kesalahan inilah yang dapat menjerumuskan Indonesia, seperti yang ditakutkan Sukarno, “menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.” Bahkan, mungkin yang lebih buruk lagi dari kekuatiran Sukarno, “menjadi bangsa pengemis dan pengemis di antara bangsa-bangsa”.
Di samping itu,  timbul pertanyaan mengapa akhir-akhir ini wawasan kebangsaan menjadi banyak dipersoalkan. Apabila kita coba mendalaminya, menangkap berbagai ungkapan masyarakat, terutama dari kalangan cendekiawan dan pemuka masyarakat, memang mungkin ada hal yang menjadi keprihatinan. Pertama, ada kesan seakan-akan semangat kebangsaan telah menjadi dangkal atau tererosi terutama di kalangan generasi muda–seringkali disebut bahwa sifat materialistik mengubah idealisme yang merupakan jiwa kebangsaan. Kedua, ada kekuatiran ancaman disintegrasi kebangsaan, dengan melihat gejala yang terjadi di berbagai negara, terutama yang amat mencekam adalah perpecahan di Yugoslavia, di bekas Uni Soviet, dan juga di negara-negara lainnya seperti di Afrika, dimana paham kebangsaan merosot menjadi paham kesukuan atau keagamaan. Ketiga, ada keprihatinan tentang adanya upaya untuk melarutkan pandangan hidup bangsa ke dalam pola pikir yang asing untuk bangsa ini.


Persoalan Faktual


            Kompetisi sekarang ini tidak hanya terjadi pada persoalan ekonomi ansich, tetapi lebih pada perbagai aspek yang ada, baik itu meliputi ideologi, politik, pemerintahan maupun berbagai sistem yang ada. Kompetisi suatu yang tak terhindarkan lagi. Bagaimana negara ditengah percaturan bangsa sekarang ini?
Para founding fathers memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dengan tujuan umum adalah mengubah sistem feodalistik dan sistem kolonialis menjadi sistem modern dan sistem demokrasi.  Kemerdekaan menurut Sukarno adalah “jembatan emas” menuju cita-cita demokrasi, sedangkan pembentukan “nation and character building” dilakukan di dalam prosesnya. Kalau pada suatu saat Sukarno menyatakan bahwa, “revolusi belum selesai,” maka dalam konteks “nation and character building,” pernyataan demikian dapat dimengerti. Artinya, baik “nation” maupun “character” yang dikehendaki sebagai bangsa merdeka belum mencapai standar yang dibutuhkan. Maka dalam hubungan “nation and character building” seperti yang diuraikan di atas, beberapa hal  berikut terkandung di dalam gagasan awalnya:
·             Pertama, Kemandirian (self-reliance), atau menurut istilah Presiden Soekarno adalah “Berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri). Dalam konteks aktual saat ini, kemandirian diharapkan terwujud dalam percaya akan kemampuan manusia dan penyelenggaraan Republik Indonesia dalam mengatasi krisis-krisis yang dihadapinya.
·             Kedua, Demokrasi (democracy), atau kedaulatan rakyat sebagai ganti sistem kolonialis. Masyarakat demokratis yang ingin dicapai adalah sebagai  pengganti dari masyarakat warisan yang feodalistik. Masyarakat di mana setiap anggota ikut serta dalam proses politik dan pengambilan keputusan yang berkaitan langsung dengan kepentingannya untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran.
·             Ketiga, Persatuan Nasional (national unity). Dalam konteks aktual dewasa ini diwujudkan dengan kebutuhan untuk melakukan rekonsiliasi nasional antar berbagai kelompok yang pernah bertikai ataupun terhadap kelompok yang telah mengalami diskriminasi selama ini.
·             Keempat, Martabat Internasional (bargaining positions).  Indonesia tidak perlu mengorbankan martabat dan kedaulatannya sebagai bangsa yang merdeka untuk mendapatkan prestise, pengakuan dan wibawa di dunia internasional. Sikap menentang hegemoni suatu bangsa atas bangsa lainnya adalah sikap yang mendasari ide dasar “nation and character building.” Bung Karno menentang segala bentuk “penghisapan suatu bangsa terhadap bangsa lain,” serta menentang segala bentuk “neokolonialisme” dan “neoimperialisme.” Indonesia harus berani mengatakan “tidak” terhadap tekanan-tekanan politik yang tidak sesuai dengan “kepentingan nasional” dan “rasa keadilan” sebagai bangsa merdeka. 
REVIEW JURNAL
DIMENSI EKONOMI POLITIK PEMBANGUNAN INDONESIA

TUNTUTAN REFORMASI
            Pada awal tahun 1960an sampai pada pertengahan tahun 1990an, indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat luar biasa. Penghasilan meningkat dari sekitar USD 70 menjadi lebih dari USD 1000 (Boediono,2008). peningkatan yang luar biasa ini yang menjadikan Indonesia sebagai contoh sukses pembangunan oleh berbagai negara lain. Dengan peningkatan taraf hidup yang luar biasa seperti tersebut diatas, kenapa timbul keresahan dan tuntutan di masyarakat?
            Kalau kita perhatikan, perkembangan ekonomi yang baik tampa diikuti oleh perkembangan perkembangan yang lain, bukan menjadi jaminan tidak adanya tuntutan dari masyarakat. Akhir dari kekuasaan orde baru menunjukkan bahwa praktek korupsi, penyalahgunaan wewenang dan kroniisme dikalangan dunia usaha begitu merajalela. Masyarakat muak dengan kondisi tersebut. Maka tuntutan reformasi diberbagai aspek kehidupan tidak terelakkan lagi. Rasa keadilan masyarakat terusik. Meskipun ordebaru dengan berbagai cara untuk mengendalikan informasi, menutup saluran saluran kritis, bahkan memenjarakan orang yang berpendapat berbeda, hal tersebut tidak bisa membungkam dan mengendalikan luberan emosi massa yang menuntut adanya reformasi diberbagai aspek kehidupan bernegara. Reformasi yang menjadikan suharto lengser dari kekuasaan yang lebih dari 30 tahun.
            Ada beberapa motif yang menjadi dasar dari gerakan reformasi tersebut, yaitu: (1) Perbaikan ekonomi, (2) perbaikan tata pemerintahan atau governance, (3) supremasi hukum, (4) Demokrasi.

PROSES TRANSFORMASI
            Kristalisasi proses transformasi dari masyarakat yang berpenghasilan rendah,tertutup dan tidak demokratis menjadi masyarakat yang berpenghasilan tinggi, terbuka dan demokratis merupakan tujuan dan konsepsi hampir semua negara berkembang di dunia ini.
            Researc menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi merupakan faktor penentu penting bagi keberlanjutan demokrasi. Suatu studi yang banyak diacu menyimpulkan bahwa, berdasarkan pengalaman empiris selama 1950-90, rejim demokrasi di negara negara dengan penghasilan perkapita 1500 dolar (dihitung berdasarkan purchasing power parity (PPP)-dolar tahun 2001) mempun yai harapan hidup hanya 8 tahun. Pada tingkat penghasilan perkapita 1500 – 3000 dolar, demokrasi bisa bertahan rata rata 18 tahun. Pada penghasilan perkapita di atas 6000 dolar daya hidup sistem demokrasi jauh lebih besar dan probabilitas kegagalannya hanya 1/500.
            Posisi Indonesia? Apabila kita hitung berdasarkan purchasing power parity (PPP-dolar) 2006 penghasilan perkapita Indonesia diperkirakan sekitar 4000 dolar. Sedangkan batas kritis bagi demokrasi sekitar 6600 dolar. Indonesia belum pada batas kritis untuk aman dalam mempertahankan demokrasi untuk bertahan.
            Delema dalam demokrasi adalah bagaimana memadukan rasionalisme dengan populisme, pemerintahan yang efektif dengan pemerintahan yang representatif, teknokrasi dengan demokrasi. Demokrasi pada dasarnya adalah rasional, tetapi pada tataran praktek sering menjadikan kebijakan yang bersifat populisme sesaat yang lebih dominan. Populisme sesaat, terkadang lebih menjerumuskan untuk mengapai tujuan tujuan jangka menengah dan panjang. Kebijakan populisme lebih cenderung sebagai alat untuk mengambil hati rakyat yang sifatnya sesaat dan demi mempertahankan kekuasaan semata.

DEMOKRASI KEDEPAN
            Demorasi mau tidak mahu adalah pilihan yang tidak bisa kita elakkan.
Bagaimana demokrasi kedepan agar bisa tercapai sesuai dengan yang diharapkan? Pertama adalah kohesi sosial, yaitu kemampuan untuk mempertahankan eksistensi dan keutuhannya sepanjang perjalanan.
            Dari segi kekuatan kohesi sosial indonesia, Indonesia memiliki keragaman budaya, agama, tradisi, dan temperamental yang berpotensi menimbulkan perpecahan. Saparatisme merupakan hal yang tidak asing di negara kita, meskipun bukan kekuatan yang dominan. Demokrasi dan transformasi menuju keterbukaan apabila tidak dikelola dengan baik bisa menjadi pemicu disharmonisasi berbangsa bahkan bisa menjadi perpecahan yang berujung pada hancurnya bangsa.
            Kedua kinerja ekonomi, prioritas utama bagi negara negara berpenghasilan rendah seharusnya adalah tumbuh untuk secepatnya.  Bahwa batas kritis aman untuk berkelanjutannya negara demokratis adalah pendapatan perkapita 6600 dolar. Ini harus menjadi prioritas bagaimana pertumbuhan ekonomi bisa dipacu agar mencapai pendapatan tersebut.
            Ketiga kelas pembaharu, yaitu terciptanya suatu kelas pembaharu yang handal yang berperan sebagai pendorong dan pengawal demokratisasi. Demokrasi harus diterjemahkan sebagai demokrasi subtansi, bukan demokrasi yang hanya mekanisme formal (pemilihan umum yang bebas dan terbuka, multi partai, pembagian kekuasaan eksekitif, legeslatif dan yudikatif, peran pers dan sebagainya), tetapi juga nilai nilai dasar yang menjadi roh dari demokrasi itu sendiri.
            Pembedaan antara demokrasi dalam arti mekanisme formal dan demokrasi dalam arti substansi sangat penting. Karena sering kita merasakan meskipun secara formal demokrasi sudah kita penuhi tetapi kita kecewa karena dalam kehidupan nyata kita belum merasakan suasana demokrasi seperti yang di janjikan.
            Peran kelompok pembaharu yang mendukung reformasi dan demokratisasi sangat penting. Kelompok pembaharu ini akan tumbuh subur dalam lingkungan ekonomi yang tumbuh secara tersebar (broad based) dan dilandasi oleh tatakelola yang baik dan iklim usaha yang sehat.
            Hal yang paling mendasar dalam menjaga proses demokratisasi di indonesia adalah bagaimana menjaga eksistensi  dan keutuhan bangsa sepanjang perjalanan transformasinya. Program penguatan kesadaran berbangsa dan bernegara harus tetap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pembangunan Indonesia. Keikutsertaan indonesia dalam proses globalisasi tidak boleh melengahkan kita dalam nation building. Bahwa pembangunan bukan berarti westernisasi atau eropanisasi atau amerikanisasi. Tetapi pembangunan Indonesia adalah pembangujnan yang mempunyai watak dan hati sebagaimana budaya Indonesia.

MENCARI ILMU PENGETAHUAN YANG BENAR

Sumber-Sumber Pengetahuan
Ada 2 cara pokok mendapatkan pengetahuan dengan benar: pertama, mendasarkan diri dengan rasio. Kedua, mendasarkan diri dengan pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan rasionalisme, dan pengalaman mengembangkan empirisme. Kaum rasionalis mengembangkan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dari ide yang diangapnya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukan ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sudah ada, jauh sebelum manusia memikirkannya (idelisme).
Di samping rasionalisme dan pengalaman masih ada cara lain yakni intuisi atau wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran, bersifat personal dan tak bisa diramalkan. Sedangkan wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Masalah yang muncul dalam sumber pengetahuan adalah dikotomi atau gap antara sumber ilmu umum dan ilmu agama.


Perkembangan Filsafat Ilmu
Periode filsafat Yunani merupakan periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu itu terjadi perubahan pola pikir mitosentris (pola pikir masyarakat yang sangat mengandalkan mitos untuk menjelaskan fenomena alam, seperti gempa bumi dan pelangi). Gempa bumi tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kausalitas.
 Filosof alam pertama yang mengkaji tentang asal usul alam adalah Thales (624-546 SM) mempertanyakan “Apa sebenarnya asal usul alam semesta ini?” Ia mengatakan asal alam adalah air karena air unsur penting bagi setiap makhluk hidup, air dapat berubah menjadi benda gas, seperti uap dan benda dapat, seperti es, dan bumi ini juga berada di atas air. Sedangkan Heraklitos mempunyai kesimpulan bahwa yang mendasar dalam alam semesta ini adalah bukan bahannya, melainkan aktor dan penyebabnya, yaitu api. Api adalah unsur yang paling asasi dalam alam karena api dapat mengeraskan adonan roti dan di sisi lain dapat melunakkan es. Artinya, api adalah aktor pengubah dalam alam ini, sehingga api pantas dianggap sebagai simbol perubahan itu sendiri.
Pythagoras (580-500 SM) berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama dari alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur bilangan merupakan juga unsur yang terdapat dalam segala sesuatu. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas.
Filosof alam ternyata tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan, sehingga timbullah kaum “sofis”. Kaum sofis ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa ini memulai kajian tentang manusia dan menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran. Tokoh utamanya adalah Protagoras (481-411SM). Ia menyatakan bahwa “manusia” adalah ukuran kebenaran. Ilmu juga mendapat ruang yang sangat kondusif dalam pemikiran kaum sofis karena mereka memberi ruang untuk berspekulasi dan sekaligus merelatifkan teori ilmu, sehingga muncul sintesa baru.
Socrates, Plato, dan Aristoteles menolak relativisme kaum sofis. Menurut mereka, ada kebenaran obyektif yang bergantung kepada manusia. Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan filsafat Yunani karena pada zaman ini kajian-kajian yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates. Menurutnya, kebenaran umum itu ada bukan dibuat-buat bahkan sudah ada di alam idea.
Puncak kejayaan filsafat Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia murid Plato, berhasil menemukan pemecahan persoalanpersoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis:
- Semua manusia akan mati (premis mayor).
- Socrates seorang manusia (premis minor).
- Socrates akan mati (konklusi).
Aristoteles dianggap bapak ilmu karena dia mampu meletakkan dasar-dasar dan metode ilmiah secara sistematis.


Prosedur Ilmiah
Ada beberapa prosedur untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Prosedur yang benar dalam penalaran untuk mendapatkan ilmu itulah yang disebut prosedur ilmiah. Ada beberapa prosedur ilmiah yang  mencakup tujuh langkah, yaitu :
1. Mengenal adanya suatu situasi yang tidak menentu. Situasi yang bertentangan ataukabur yang menghasilkan penyelidikan
2.  Menyatakan masalah dalam istilah-istilah yang spesifik
3.  Merumuskan suatu hipotesis
4.  Merancang suatu metode penyelidikan yang terkendali dengan jalan pengamatan atau percobaan
5. Menumpulkan dan mencatat data kasar agar mempunyai suatu pernyataan yang mempunyai makna dan kepentingan
6.  Melakukan penegasan yang dapat dipertanggungjawabkan
7.  Melakukan penegasan terhadap apa yang disebut metode ilmiah.

Aspek pendukung metode berpikir Ilmiah
Selain prosedur berpikir ilmiah terdapat hal-hal lain yang juga berperan penting dalam mendukung metode berpikir ilmiah. Archi J. Bahm menyatakan bahwa aspek-aspek itu adalah :
1. Masalah. Masalah akan menentukan ada atau tidak adanya ilmu, tidak ada masalah maka tidak ada ilmu, dan masalah juga sebagai langkah pertama dalam satu penelitian ilmiah. sesuatu dianggap masalah jika terjadi pertentangan antara harapan akan sesuatu yang seharusnya (das solen) dengan kenyataan (das sain).
2. Sikap ilmiah, sikap ilmiah memiliki enam karakteristik, yaitu
a. Rasa ingin tahu (Scientific curiosity). Rasa ingin tahu ditujukan untuk memahami keberadaan, hakekat, fungsi hal tertentu dan hubungannya dengan hal-hal lain, ada rasa ingin tahu yang menjadi pemicu munculnya pertanyaan serta dilakukannya penyelidikan, pemeriksaan, penjelajahan, percobaan dalam rangka mencapai pemahaman.
b. Spekulatif. Merupakan sikap ilmiah yang diperlukan untuk mengajukan hipotesis-hipotesis (bersifat deduktif) untuk mencari solusi permasalahan
c. Objekiif. Dimaknai dengan sikap yang selalu sedia untuk mengakui subjektivitas (bersifat relative) terhadap apa yang dianggap benar
d. Keterbukaan. Adalah kesediaan untuk mempertimbangkan semua masukan yang relevan mengenai permasalahan yang dikerjakan
e. Kesediaan untuk menunda penilaian. Tidak memaksakan diri untuk memperoleh jawaban jika penyelidikan belum memperoleh bukti yang diperlukan
f. Tentatif. Artinya tidak bersikap dogmatis terhadap hipotesis maupun simpulan, tetap menyadari bahwa tingkat kepastian pembuktian selalu kurang dari seratus persen dan selalu memungkinkan untuk meninjau kembali terhadap apa yang diyakini benar


Aktivitas ilmiah
Ketika para ilmuwan melakukan riset atau penelitian ilmiah, itulah yang dimaksud dengan aktivitas ilmiah. Walter R. Borg dan Meredith D. Gall, menyebutkan tujuh langkah yang ditempuh seorang peneliti dalam melakukan penelitiannya. Tujuh langkah tersebut adalah:
a. Recognition of the problem (menyusun sesuatu yang disebut sebagai masalah
b. Development of problem in clear, specific terms (melakukan permusan masalah, atau   mendefinisikan masalah kedalam bentuk operasional
c. Development of hyphoteses (menyusun hipotesis/dugaan sementara)
d. Development of techniques and measuring instrument that will provide objective date pertinent to the hyphoteses (menetapkan teknik dan menyusun instrument penelitian)
e. Collection of date (mengumpulkan data yang diperlukan)
f. Analysis of date (melakukan analisis terhadap data yang terkumpul)
g. Drawing conclusions retative fo the hypotheses base upon the date (menggambarkan kesimpulan yang berhasil dipecahkan dari masalah yang diangkat dengan metode yang digunakan).

Penelitian merupakan pencerminan secara kongkret kegiatan ilmu dalam memproses pengetahuannya. Struktur berpikir yang melatar belakangi langkah-langkah dalam penelitian ilmiah adalah metode keilmuan. Dengan demikian maka penguasaan metode ilmiah merupakan persyaratan untuk dapat memahami jalan pikiran yang terdapat dalam langkah-langkah penelitian.
Penelitian merupakan activitas penyelesaian sesuatu yang dianggap sebagai masalah yang bertujuan untuk menemukan jawaban dari persoalan yang signifikan melalui penerapan prosedur-prosedur ilmiah. penelitian terhadap ilmu tidaklah ditentukan oleh keahlian teorinya sepanjang zaman melainkan terletak dalam kemampuan memberikan jawaban terhadap permasalahan manusia dalam tahap peradaban terentu. Merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa pada kurun masa kini kita mempergunakan berbagai kemudahan dan fasilitas yang dikembangkan oleh ilmu dan tekonologi, umpamanya sarana komunikasi, transportasi, kemudahan tersebut dikembangkan berdasarkan pengetahuan ilmiah yang kebenarannya diakui pada masa kini. Dan dikemudian hari mungkin saja harus diciptakan sarana komunikasi dan transportasi lain yang memerlukan teori Sain pula untuk mengembangkannya.


Sarana Ilmiah
Dalam berpikir untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah, tentu tidak terlepas dari alat atau sarana ilmiah. Sarana ilmiah dimaksud meliputi beberapa hal yaitu bahasa, matematika, statistika, dan logika. Hal ini mempunyai peranan sangat mendasar bagi manusia dalam proses berpikir dan mengkomunikasikan maupun mendokumentasikan jalan pikiran manusia.
Bahasa merupakan suatu sistem yang berstruktur dari simbol simbol bunyi arbitrer (bermakna) yang dipergunakan oleh para anggota sesuatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Unsur-unsur yang terdapat di dalamnya meliputi: simbol-simbol vokal arbitrer, suatu sistem yang berstruktur dari simbol-simbol yang arbitrer dan yang dipergunakan oleh para anggota suatu kelompok sosial sebagai alat bergaul satu sama lain. Bahasa berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan pikiran, perasaan dan emosi kepada orang lain, baik pikiran yang berlandaskan logika induktif maupun deduktif. Hal ini disebut bahasa ilmiah, tentu beda dengan bahasa agama yaitu kalam ilahi yang terabadikan ke dalam kitab suci dan ungkapan serta perilaku keagamaan dari suatu kelompok sosial.
Matematika sebagai bahasa yang melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin kita sampaikan. Fungsi matematika hampir sama luasnya dengan fungsi bahasa yang berhubungan dengan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Matematika merupakan ilmu deduktif yang memiliki kontribusi dalam perkembangan ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Statistik mengandung arti kumpulan data yang berbentuk angkaangka (data kuantitatif). Penelitian untuk mencari ilmu (penelitian ilmiah), baik berupa survei atau eksperimen, dilakukan lebih cermat dan teliti dengan menggunakan teknik-teknik statistik. Statistik mempunyai peranan penting dalam berpikir induktif, jadi bahasa, matematika, statistik memiliki peranan yang sangat mendasar dalam berpikir logika dan tidak dapat terlepas satu sama lain dalam berbagai bidang aspek kehidupan ilmiah manusia. Logika merupakan sarana berpikir sistematis, valid, cepat, dan tepat serta dapat dipertanggungjawabkan dalam berpikir logis dibutuhkan kondisi-kondisi tertentu seperti: mencintai kebenaran, mengetahui apa yang sedang dikerjakan dan apa yang sedang dikatakan, membuat perbedaan dan pembagian, mencintai defenisi yang tepat, dan mengetahui mengapa begitu kesimpulan kita serta menghindari kesalahan-kesalahan.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Daldjoeni, N., “Hubungan etika dengan Ilmu”, Ilmu dalam perspektif. Jujun S. Suriasumantri, Jakarta: Gramedia, 1978.
  2. “Ilmuwan dan Tanggung Jawab sosial”. Pustaka. No.3 Tahun III,1979
  3. Suriasumantri, S. Jujun. Filsafat Ilmu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta, 1999.
  4. Beberapa sumber dari internet
UPAYA ADMINISTRASI PUBLIK MENGADOPSI TEKNIK TEKNIK
MANAJEMEN SEKTOR BISNIS
Oleh: Totok Budiantoro

Pembahasan tentang pelayanan public di Indonesia telah lama dimulai. Wacana Ilmiah. baik dalam bentuk pemikiran maupun penelitian baik yang dilakukan oleh akademisi maupun dikalangan praktisi pemerintahan berupaya keras untuk menghasilkan konsep serta upaya pemecahan terhadap permasalahan pelayanan Publik.
            Upaya untuk menjadikan pelayanan Publik terstandarisasi sebagaimana pelayanan privat bukan sekedar persoalan mengadopsi standar standar sebagaimana yang lazim digunakan dalam standarisasi di pelayanan privat. Persoalannya lebih banyak pada bagaimana pelayanan publik mampu dan mahu mengunakan standar yang ada pada sektor pelayanan privat.
            Tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan publik yang baik sudah tidak bisa ditunda tunda lagi. Pelayanan publik yang prima bukan lagi sekedar tuntutan tetapi sudah merupakan hak bagi masyarakat. Dalam konteks persaingan pelayanan publik yang baik adalah suatu keungulan. Keunggulan yang bisa digunakan dalam konteks memenangkan persaingan. Kompetisi yang terjadi sekarang ini tidak hanya terjadi pada ranah lokal, tetapi sudah mengarah pada kompetisi yang sifatnya global. Dimana negara yang mampu memberikan pelayanan publik yang maksimal tentu saja akan memberikan dampak yang luar biasa dalam memberikan kontribusi untuk memenangkan persaingan. Dampak langsung dari pelayanan publik yang prima, bisa memotong secara langsung ekonomi biaya tinggi (hight cost economy), dalam variabel kecepatan pelayanan dan kepastian waktu pelayanan.

POLA PELAYANAN SEKTOR PUBLIK
            Ada beberapa pola pelayanan sektor publik yang perlu dikaji dalam bentuk bentuk pelayanannya. Berikut pola yang biasa digunakan dalam proses pelayanan di sektor publik:
  1. Pola pelayanan fungsional yaitu pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Pola ini mengakomodir kondisi daerah dengan beban tugas, volume dan intensitas kegiatan pelayanan perizinan dan non perizinan yang relatif tidak terlalu tinggi, sehingga cukup realistis untuk dilaksanakan oleh Dinas/Instansi yang membidanginya. Pertimbangan lain, pola ini disesuaikan dengan ; kondisi geografis, luas wilayah, tersedianya aparat pelaksana dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, dan kemampuan keungan daerah untuk membiayai kegiatan pelayanan publik secara terpadu.
  2. Pola Pelayanan Terpusat yaitu pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.
  3. Pola Pelayanan Terpadu. Ada bentuk pelayanan terpadu. Pertama Pelayanan terpadu satu atap yaitu pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui berbagai pintu. Kedua Pola Pelayanan terpadu satu pintu yaitu pelayanan diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. Ketiga pola gugus tugas yaitu petugas pelayanan publik secara perseorangan atau dalam bentuk gugus tugas, ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan tertentu.
Inilah beberapa pola pelayanan yang dilakukan oleh pelayanan publik. Ada beberapa daerah yang sudah menetapkan pola pelayanan terpadu tapi ada juga beberapa daerah yang masih mengunakan pola lama dalam pelayanannya.
      Kalau kita perhatikan dari beberapa pola tersebut diatas tentu saja ada positif negatifnya. Dan itu sesuatu yang wajar. Persoalan yang lebih mendasar lagi sebetulanya bukan pada pola pola pelayanannya. Tetapi lebih banyak pada persoalan orang orang yang menjadi pelayan publik itu sendiri. Mengunakan pola apapun juga kalau tidak diikuti oleh motif dan filosofis yang baik dan benar dari pelayan publik sulit kiranya untuk berharap pelayanan publik menjadi lebih baik.
      Pelayanan bukan sekedar melakukan sesuatu sesuai dengan tugasnya, pelayanan juga menyangkut dimensi etika dan kepastian kepastian. Sekarang pertanyaannya apakah mungkin menjadikan pelayanan publik menjadi lebih baik sama sebagaimanan pelayanan privat. Motif seringkali diterjemahkan sebagai landasan orang untuk melakukan sesuatu. Ketika orang memiliki motif yang tidak benar (jelek) hampir bisa dipastikan akan menghasilakn sesuatu yang tidak benar dan buruk.

Beberapa Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan
      Ada beberapa prinsip dalam penyelenggaraan Pelayanan yang harus ada baik di sektor publik maupun privat. Prinsip prisip ini biasanya terukur dengan jelas agar bisa menjadi acuan dalam pelayanan. Karena pelayanan membutuhkan kepastian agar bisa terukur apakah pelayanan yang dilakukan sudah sesuai dengan standar yang ada, atau melebihi standar, atau mungkin dibawah standar pelayanan.
      Prinsip pertama yaitu kesederhanaan dalam pelayanan, pelayanan seharusnya tidak harus dibikin rumit kalau memang bisa dipermudah. Kedua yaitu kejelasan dan kepastian pelayanan. Pelayanan harus jelas dan pasti tidak menimbulkan multitafsir dan ambiguitas dalam proses pelayanan. Ketiga keamanan dalam pelayanan. Hal ini lebih pada keselamatan dan rasa aman selama proses pelayanan. Keempat yaitu keterbukaan dalam pelayanan. Transparasi dalam pelayanan amat penting, transparan dalam proses, transparan dalam menentukan biaya pelayanan, transparan dalam menentukan prosedur dan transparan dalam barbagai aspek yang lain.
      Prinsip kelima adalah ekonomis dalam pelayanan, pelayanan harus dibikin murah. Kalau bisa murah kenapa harus mahal. Terutama sesuai dengan nilai ekonomis yang ada. Keenam adalah keadilan, dalam pelayanan tidak boleh ada diskriminasi, tidak boleh membedakan pelayanan karena status sosialnya maupun karena kedekatan pribadi. Dalam pelayanan yang baik tidak membedakan apakah yang dilayani itu jendral maupun presiden dengan tukang becak, mereka harus mendapatkan pelayanan yang sama.
      Ketuju adalah efisiensi dalam pelayanan, efisiensi lebih pada bagaimana pelayanan menjadi lebih tepat pada sasaran dan lebih berguna. Sedangkan prinsip yang kedelapan adalah ketepatan waktu dalam pelayanan, prinsip ini mengharuskan pelayanan mengandung kepastian dalam proses penetapan waktu dalam pelayanan. Baik kepastian waktu dalam menunggu pelayanan, waktu proses pelayanan maupun kepastian waktu pelayannya.

Mengurai Permasalahan
      Persoalan utama dalam meningkatkan kwalitas pelayanan publik ssebetulnya tidak hanya berkutat pada pola pola yang selalu diperbaiki. Dari perbaikan pola yang sudah dilakukan birokrasi dalam upaya memperbaiki pelayanan baik itu pola pelayanan fungsional, diperbaiki dengan pola terpusat sampai dengan perubahan menjadi pola terpadu hal ini tidak akan merubah banyak dalam meningkatkan pelayanan publik.
      Mungkin bisa kita ilustrasikan sebagai berikut, sebuah kendaraan yang dinaiki oleh seseorang, baik itu sepedah ontel kemudian diganti sepeda motor sampai kemudian diganti naik mobil yang mampu mencapai kecepatan 300 km/jam, tetapi si pengendara tetap menjalankan kendaraannya 10 km/jam tidak ada gunannya. Tetap saja akan mencapai tujuan relatif lebih lama. Karena persoalannya sipengendara tetap  menjalankan kendaraannya 10 km/jam. Meskikpun kendaraan yang dinaikinya mampu mencapai 300 km/jam ini tidak akan ada gunannya. Tidak akan cepat sampai karena memang sipengendara tidak ingin cepat sampai.
      Inilah problem dalam pelayanan publik kita, kenapa perbaikan dari berbagai pola yang ada tetap saja pelayanan tidak menjadi lebih baik. Karena persoalannya bukan pada pola pola pelayan. Tetapi persoalannya lebih pada orang orang yang melayani disektor pelayanan publik itu sendiri. Persolan motif, persolan culture dan persoalan persoalan psikis lebih dominan kenapa persoalan pelayanan publik sulit untuk dirubah menjadi lebih baik.
      Persoalan motif misalnya, ketika seorang bekerja sebagai pelayan publik menurut penelitian joe fernandes misalnya motif orang untuk menjadi pegawai pemerintah adalah agar mereka bisa bekerja dengan santai dan tidak ada pemecatan (sulit dipecat). Kalau ini sudah menjadi motif sebagian besar dari pelayan publik sulit kirannya kita mendapatkan pelayanan yang semakin baik. Karena pelayanan yang baik membutuhkan kerdja keras bukan kerja santai, pelayanan yang baik membutuhkan reward and punisment, yang melayani melebihi standar mendapat hadiah sementara yang melayani dibawah standar mendapat penghukuman. Kalau motifnya sudah seperti apa yang diteliti joe fernandes apakah bisa semakin baik?
      Persoalan pelayanan kita bukan sekedar diranah perbaikan orang orang birokrasi, tetapi sudah menyangkut pada aspek politis. Mampukah? Dan beranikah? Orang orang yang memegang jabatan politis seperti bupati/ walikota, Gubernur, sampai presidenpun untuk merubah ini. Birokrasi kita sangat kuat, mempunya bargaining position yang sangat kuat. Biasanya yang terjadi pemegang jabatan politis lebih banyak kompromi kompromi dengan orang orang birokrasi agar kekuasaan yang ada padanya tidak digoncang dan langeng.
      Pertanyaan besar sekarang, haruskah kita selalu berkutat pada persoalan perubahan pola pola pelayanan dan bukan pada persoalan substansi penyebab kenapa persoalan pelayanan publik tidak semakin lebih baik? Atau persoalan keberanian pemegang jabatan politis untuk merubah sikap birokrasi yang dipimpinya? Mungkin kita perlu bertanya kenapa Ebiet G.Ade selalu bertanya pada rumput yang bergoyang?

Totok Budiantoro
5 september 2010
Jl. Gumitir 1 singotrunan - Banyuwangi
                                  PERSOALAN DEMOKRASI DAN  KEKUASAAN
                                                            Oleh: Totok Budiantoro 

PERSOALAN DEMOKRASI
            Masalah demokrasi menjadi persoalan kontemporer yang hangat dan menjadi perdebatan yang menarik di akhir abad ini. Hampir semua negara mengklain dirinya sebagai negara demokrasi. Apapun bentuk negaranya, apapun ideologinya, bagaimanapun cara kekuasaan itu didapat, mereka dalam konteks negara mengklaim sebagai negara yang demokratis. Sekarang yang menjadi persoalan kenapa harus demokrasi dan kenapa demokrasi menjadi sangat penting?
            Cina sebagai negara sosialis mengklaim sebagai negara demokratis, Amerika sebagai negara adidaya mengklaim sebagai negara demokratis, korea utara maupun Korea selatan mengklaim sebagai negara demokratis, Indonesia mengklaim sebagai Negara demokratis Pancasila. Dan hampir semua negara memproklamirkan sebagai negara demokratis. Pertanyaannya apakah benar klaim yang mereka lakukan?
            Secara sederhana dapat kita terjemahkan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Apakah benar yang memerintah itu adalah rakyat, apakah pemerintahan ini untuk kesejahteraan rakyat? Apakah itu yang sesungguhnya terjadi?
            Secara garis besar pengertian pemerintahan demokratis itu dapat kita kategorikan dalam 2 demensi demokratis:
  1. Demokratis elitis, yaitu dimana rakyat dilibatkan dalam proses demokratis pada saat saat tertentu saja. Misalnya pada saat pemilihan 5 tahun sekali, atau pemilihan bupati, gubernur dan DPR. Setelah proses keterlibatan yang temporer ini terjadi, sesudah itu sepenuhnya tergantung pada kebijakan elit yang terpilih. Demokrasi pada konteks ini lebih mengedepankan kegiatan yang sifatnya instrumental atau bisa dikatakan serimonial belaka. Rakyat digunakan sebagai legitimasi sah dan tidaknya penguasa. Demokratis semacam ini, bukan menunjukkan demokrasi yang sebenarnya tetapi lebih pada hegemoni penguasa terhadap rakyat yang dikuasainya.
  2. Demokratis partisipatif, dimana demokrasi pada konteks ini lebih menekankan partisipasi rakyat, rakyat dilibatkan mengambil keputusan tidak hanya saat pemilihan para wakil wakilnya saja, tetapi juga melibatkan rakyat pada proses pengambilan kebijakan kebijakan yang akan dibuat. Demokratis pada tataran partisipatif ini, substansi persoalan masyarakat lebih terwakili dan lebih terpecahkan karena melibatkan subyek sekaligus obyek dari kebijakan yang ada. Pada tataran implementasi memang tidak mudah, terkadang tarik ulur antara melibatkan partisipatif dan kepentingan sesaat menjadi konflik laten pada taraf psikologis pembuat kebijakan. Demokrasi partisipatif akan menjamin kesejahteraan masyarakat secara lebih baik, asal bargainning position rakyat pada posisi yang tinggi. Bukan pada posisi yang terokupsi.

Pilihan antara demokratis elitis dan demokrasi partisipatif bukan persoalan memilih atau membeli sebagaimana barang yang ada di pasar. Tetapi suatu proses sinergi antara kekuatan rakyat dan kesadaran akan kekuasaan. Demokrasi memerlukan pembelajaran, demokrasi perlu adanya penyamaan persepsi tentang konsep yang dipahami dan dimahui apa yang terbaik.
      Ketika demokrasi hanya menjadi barang trademark yang menjadi klaim para penguasa, tetapi countentnya jauh dari substansi yang ada, yang terjadi adalah negara tidak menjadi lebih sejahtera tetapi malahan bisa menjadi semakin memprihatinkan. Apakah itu yang kita mahui?

PERSOALAN KEKUASAAN

      Kekuasaan bisa diterjemahkan sebagai kemampuan untuk mengerakkan atau mempengaruhi orang lain sesuai dengan apa yang kita mahui. Sejarah telah mencatat dengan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang bisa menyebabkan pembunuhan dan pembantaian yang menyebabkan ratusan ribu orang mati.
      Persoalan kekuasaan lebih banyak pada persoalan bagaimana kekuasaan itu bisa dibatasi, kekuasaan yang tampa batas jelas akan berbahaya. Bagaimana  membatasi kekuasaan? Dan saluran saluran apa saja yang ada pada kekuasaan?
      Beberapa saluran kekuasaan, yang pertama adalah saluran militer. Saluran militer ini bisa kita lihat pada terbentuknya pasukan pasukan militer dimana biasanya lebih banyak mengunakan paksaan serta kekuatan militer untuk melaksanakan kekuasaannya. Kedua saluran ekonomi, saluran ekonomi ini lebih banyak mengunakan penguasaan dibidang ekonomi, misalnya modal, penguasaan buruh untuk menguasai kehidupan masyarakat. Ketiga Saluran Politik, pada konteks ini penguasa pemerintah membuat peraturan peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat. Saluran Tradisional, yaitu dengan cara menyesuaikan tradisi pemegang kekuasaan dengan tradisi yang dikenal di dalam suatu masyarakat.
      Lebih dari itu yang sangat penting dalam kekuasaan adalah, bagaimanan agar kekuasaan yang ada pada seseorang bisa digunakan untuk kepentingan negara, bukan kekuasaan yang ada pada seseorang digunakan untuk kepentingan individu atau sekelompok orang. Oleh sebab itu kekuasaan harus dibatasi, kekuasaan harus diatur oleh negara. Jangan sampai kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang melampui kekuasaan yang dimiliki oleh negara. Ketika kekuasaan seseorang melebihi kekuasaan yang dimiliki oleh negara maka akan berbahaya. Salah satu sifat negara adalah kemampuan untuk memaksa, ketika kemampuan negara untuk memaksa kalah dengan kemampuan yang dimiliki oleh kekuasaan seorang. Maka negara itu akan menjadi negara banci.
  
Totok Budiantoro
Jl. Gumitir No.1 singotrunan
Banyuwang