Powered By Blogger

Sabtu, 01 Januari 2011

PARADIGMA PARADIGMA DALAM FILSAFAT
Oleh: Totok Budiantoro 
Paradigma secara sederhana dapat diartikan sebagai kacamata atau alat pandang. Sedangkan pengertian yang lebih akademis dapat diartikan sebagai suatu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan teori (Mansour Fakih,2009).

PARADIGMA MODERNISME
            Modernisme mengklaim bahwa realitas eksternal dapat ditemukan, digambarkan, dan dipahami. Fakta yang mengatakan modernisme dapat menemukan realitas sebenarnya didasarkan pada pandangan realisme. Realisme meyakini realitas sebagai dunia nyata yang tersusun atas struktur yang keras, berwujud, dan relatif permanen (Burrell dan Morgan, 1979).
            Pemahaman yang mendasar pada paradigma modernisme adalah ilmu pengetahuan adalah bebas dari nilai.

PARADIGMA POSTMODERNISME
            Postmodernisme cenderung mengatakan bahwa tidak ada alat yang cukup untuk merepresentasikan realitas. Postmodern menolak pandangan realitas yang mengasumsikan adanya kebebasan dari proses mental individual dan komunikasi intersubyektif (Resenau, 1992).
            postmodern didasarkan pada pandangan nominalisme dimana realitas sosial yang berbeda secara eksternal dari kognisi seseorang tersusun tidak lebih dari nama nama, konsep konsep, dan lebel lebel yang digunakan untuk menyusun realitas

PARADIGMA INTERPRETATIF
Ada beberapa prinsip dasar yang dikembangkan oleh interpretif, yaitu:
-          Individu menyikapi sesuatu atau apa saja yang ada di lingkungannya berdasarkan makna sesuatu tersebut pada dirinya;
-          Makna tersebut diberikan berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain;
-          Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interpretif yang berkaitan dengan hal hal lain yang dijumpainya.
Ketiga prinsip dasar tersebut pertama tama disusun oleh asumsi bahwa setiap individu bisa melihat dirinya sendiri sebagaimana ia melihat orang lain. Individu juga tidak pasif, memiliki kemampuan untuk membaca situasi yang melingkupi hidupnya. Dengan demikian perhatian teori interaksi simbolik banyak difokuskan pada aspek aspek interaksi sosial. Baik yang memelihara stabilitas maupun yang mendorong perubahan individu seharusnya melihat dirinya sendiri dan menafsirkan situasi yang melingkupi hidupnya. Dengan mengacu pada prinsip prinsip dasar tersebut, interpretif menawarkan metodologi yang lebih menekankan pada pemahaman makna dengan melakukan empati terhadap sesuatu aktivitas dan menempatkan suatu aktivitas yang ada dalam masyarakat. Bermacam macam makna bisa teruntai dari situasi jalinan interaksi. Konsekuensinya kemudian adalah bahwa suatu aktivitas bisa melahirkan bermacam macam analisis.

TEORI KRITIK
Tanpa kritik, paradigma (Obyek studi, teori dan metode) yang telah melembaga akan menjelma menjadi ideologi. Pelembagaan saling kritik dalam ilmu pengetahuan merupakan prasyarat yang mutlak perlu sebagai upaya menemukan obyektifitas dalam pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
            Weber mengatakan perlunya liberalisasi berfikir dalam suatu penelitian atau pembebasan diri dari ideologi politik pada saat menganalisis persoalan yang ada sehingga metode kritik akan melembaga menjadi ideologi dan kritik juga tidak imum dari kritik yang lain. Kalau kegiatan saling kritik sudah melembaga maka secara langsung maupun tidak langsung akan memperkokoh fondasi pendewasaan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu kritik merupakan bagian dari sikap ilmiah yang perlu dilembagakan dalam kegiatan akademik demi intersubyektivitas ilmiah.
            Teori kritik memakai metode dialektika tertentu yang mengarah ke masa depan. Kekuatan kritik termuat dalam metode dialektika itu sendiri karena pemikiran dialektis mencari kontradiksi kontradiksi dalam kenyataan kongkrit (Hardiman,1990: 56-57).
            Menurut Horkheimer dalam Hardiman (1990:58) Memiliki empat karakter, Yaitu:
-          Teori kritik bersifat historis, yang artinya teori ini dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat yang kongkrit dan berpijak di atasnya. Dengan kata lain teori ini menyatakan sebagai kritik imanen terhadap masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi.
-          Teori kritik disusun dalam kesadaran akan keterlibatan historis para pemikirnya dan juga teori ini kritik pada dirinya sendiri.
-          Sebagai akibat metode dialektik, teori ini memiliki kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Hal ini berkaitan dengan maksud ingin menelanjangi kedok kedok ideologi yang menutupi, manipulasi, ketimpangan dan kontradiksi kontradiksi yang ada dalam masyarakat.
-          Teori kritik ini bermaksud untuk menolong transformasi masyarakat yang lebih kritis terhadap sesuatu.
Dengan memperhatikan keempat karakteristik teori kritik maka dapat ditarik kesimpulan bahwa teori kritik mempunyai tujuan membebaskan manusia dari perbudakan, membangun masyarakat atas dasar hubungan pribadi yang saling merdeka dan pemulihan kedudukan manusia sebagai subyek yang mengelola sendiri kenyataan sosial.
            Dari sisi ilmu pengetahuan, dari teori kritik inipara ilmuwan dan peneliti diharapkan tidak hanya menerima ilmu pengetahuan begitu saja tetapi akan lebih dapat memacu perkembangan ilmu pengetahuan.

PARADIGMA KRITIKAL
            Paradigma ini didasari pada anggapan hakikat diri manusia yang dinamis, manusia sebagai pencipta nasib hidupnya, manusia yang ditekan, dieksploitasi, dibatasi, dicuci otaknya, diarahkan, dikondisikan dan ditutupi dalam upaya mengaktualisasikan potensinya (Soetriono & Rita Hanafie,2007). Konsekwensi dari anggapan ini adalah bahwa paradigma ini memandang realitas sosial sebagai realitas yang sangat kompleks (yang tampak dan nyata), penuh dengan kontradiksi, tekanan dan konflik, sehingga tidak mengherankan bila ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu alat yang digunakan sebagai alat untuk membebaskan dan memberdayakan manusia dan juga menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu tidak bebas dari nilai (not value free).

PARADIGMA HUMANIS RADIKAL
            Dalam pandangan Paradigma humanis radikalis dunia sosial adalah perspektif yang cenderung nominalis, antipositivitas, voluntaris dan idegrafik, tetapi kerangka referensinya dilakukan pada pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya merobohkan atau menstrandenkan batasan susunan sosial yang ada (Soetriono & Rita Hanafie,2007). Humanis radikal menempatkan seluruh penekanan atas perubahan radikal, mode dominasi, emansipasi, pencabutan dan potensialitas.
Humanis radikal memberikan perhatian umum kepada pengeluaran kesadaran dan pengalaman dari dari dominasi dengan berbagai aspek, dimana mereka mencari untuk mengubah dunia sosial melalui perubahan dalam mode pengetahuan dan kesadaran.

PARADIGMA STRUKTURALIS RADIKAL
            Strukturalis radikal berkonsentrasi pada hubungan struktural dalam dunia sosial realis. Strukturalis radikal menekankan pada kenyataan bahwa perubahan radikal dibangun dengan sangat alami dan pada struktur masyarakat masa kini, di mana mereka mencari untuk memberi penjelasan antar hubungan dasar dalam konteks bentuk total sosial (Soetriono & Rita Hanafie,2007).
            Menurut Ghozali strukturalis radikal menfokuskan pada konflik mendasar sebagai produk hubungan kelas dan struktur pengendalian. sementara itu humanis radikal menitik beratkan pada kesadaran individu, keterasingan manusia dan bagaimana kedua hal ini dapat mendominasi pengaruh ideologi. Perbedaan antara keduanya, strukturalis radikal memperlakukan social world sebagai subyek eksternal dan memiliki hubungan yang terpisah dari manusia tertentu. Sementara itu humanis radikal menfokuskan pada persepsi individu dan interpretasi- interpretasinya (Soetriono & Rita Hanafie,2007).

DAFTAR PUSTAKA


Fakih, Mansour, 2009, Buntunya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSISTPress, Yogyakarta.
Soetriono & Rita Hanafie, 2007, Filsafat ilmu dan Metodologi Penelitian, Andi,      Yogyakarta.
Thoha, Mahmud, 2004, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan sosial & Humaniora, TERAJU, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar