Powered By Blogger

Rabu, 07 Desember 2011

KEBERPIHAKAN INTELEKTUAL


Intelektual Seharusnya Berpihak

Penulis
Totok Budiantoro,S.Sos

            Kedudukan intelektual sebagai individu dan intelektual sebagai anggota masyarakat berada dalam satu struktur kesatuan. Dengan demikian dapat dikatakan intelektual adalah makhluk individu yang memasyarakat sekaligus makhluk sosial yang mengindividu. Menurut Soetriono (2007), Dalam diri pribadi setiap individu  itu ada kesadaran, pertama sadar akan dirinya sebagai pribadi  ciptaan Sang Pencipta yang menjadikan kehidupannya bergantung sepenuhnya kepada orang lain (Sampai taraf tertentu), kedua sadar akan dirinya yang juga memiliki potensi untuk hidup di atas otonomi dan kebebasannya.
            Intelektual sebagai individu, sama artinya intelektual sebagai manusia yang memiliki ciri istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (Sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale.
            Seorang intelektual seharusnya tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari sisi pandang ilmu itu sendiri. Intelektual harus melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan moral, dengan agama dan apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada masyarakat dan lingkungannya.
           
Perbedaan Paradigma
            Paradigma sering diartikan sebagai kerangka referensi atau pandangan yang menjadi dasar keyakinan. Manusia intelektual untuk mengetahui ilmu pengetahuan, tidak perduli apakah ilmu pengetahuan itu berguna untuk dirinya atau tidak, sejarah telah membuktikan bahwa ada sekelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui sebab yang mendalam atas suatu obyek.
            Pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori yang bersifat netral dan obyektif, melainkan salah satunya sangat bergantung pada paradigma yang mendasarinya. Oleh karena itu jika dua orang melihat suatu relaitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap berbeda pula karena paradigma yang berbeda pula.
            Dalam pandangan paradigma menurut soetriono (2007), Paradigma postmodernisme tidak memiliki bentuk tubuh yang utuh seperti modernisme, postmodernisme merepresetasikan bersatunya unsur – unsur dari orientasi yang berbeda – beda dan bahkan betentangan, dalam melihat ilmu pengetahuan, postmodernisme melihat ilmu pengetahuan bersifat subyektif, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai atau terikat pada nilai. Postmodern menolak pandangan realitas yang mengasumsikan adanya kebebasan dari proses mental individu dan komunikasi intersubyektif (Resenau, 1992).
            Sementara paradigma  menurut pandangan modernisme mengklaim bahwa realitas eksternal dapat ditemukan, digambarkan dan dipahami, fakta yang mengatakan modernisme dapat menemukan realitas sebenarnya didasarkan pada pandangan realisme, realisme meyakini realitas sebagai dunia nyata yang tersusun atas struktur keras, berwujud dan relatif permanen (Burrel dan Morgan, 1979). Dalam konteks ini modernisme melihat realitas sosial sudah ada sebelum individu masuk, dan ilmu pengetahuan dianggap bebas dari nilai.
                                   
Refleksi Praktis Intelektual dan Realitas Sosial
            Ketika kita melihat bagaimana orang saling membunuh gara – gara berebut uang lima ribu rupiah, itu adalah realitas sosial. Ketika kita melihat bagaimana anggota DPR bagi – bagi duit korupsi milyaran rupiah, itu juga realitas sosial. Ketika orang miskin untuk makan sehari – hari saja kesulitan, sementara sikaya menghamburkan jutaan rupiah untuk sekali makan, Itu juga realitas sosial. Secara sederhana realitas sosial dapat kita terjemahkan sebagai kenyataan-kenyataan social budaya di sekitar lingkungan masyarakat tertentu.
            Tugas utama intelektual sebagai anggota masyarakat pada dasarnya tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahirnya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial, akan tetapi tugas intelektual harus mampu mengubah realitas sosial yang dianggap bermasalah dan tidak adil, menjadi realitas yang benar dan adil. Meskipun hal tersebut tidak mudah karena mengharuskan intelektual terjun langsung pada tataran praktek perjuangan lapangan (pengabdian) di masyarakat.
            Bagi seorang intelektual, dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan dan beberapa teori yang dia ketahui dan hafalkan seharusnya tidak berhenti pada sekedar pemahaman teoritis, tetapi bagaimana dengan pengetahuan yang dia miliki mampu merubah atau minimal mewarnai pada realitas yang sesungguhnya terjadi dimasyarakat dan menjadikannya benar dan adil.
            Ketika para intelektual mengetahui terjadi realitas sosial tentang ketidakadilan di masyarakat, intelektual seharusnya tidak berhenti sebatas tahu bahwa ada ketidakadilan dimasyarakat, tetapi dengan ilmunya intelektual harus berusaha merubahnya dengan intelektual yang dimilikinya. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi yang mencolok antara sikaya dan simiskin di negara ini, seharusnya intelektual juga berjuang mengatasinya dengan ilmu yang dimilikinya.
            Dalam persaingan antar negara yang sangat kompetitif sekarang ini bukan saatnya lagi bila intelektual mengatakan bahwa tugas intelektual sekedar  memahami realitas sosial dimasyarakat, sedangkan tugas untuk memperbaiki realitas sosial yang tidak benar ini adalah tanggung jawab pemerintah, tanggung jawab swasta, tanggung jawab mereka mereka yang terjun langsung pada tataran praktisi di masyarakat. Jangan – jangan alasan ketidak berpihakan intelektual kepada perbaikan realitas sosial hanyalah ketidak mampuan, ketidak beranian atau karena kemapanan sosial (Status sosial), berdiri di atas menara gading kepongahan intelektual. Yang jelas bangsa ini butuh intelektual, butuh aku, kamu dan kita semua untuk berjuang!.

  

INDONESIA SEDANG BERUBAH


Indonesia yang Berubah

Penulis
Totok Budiantoro,S.Sos

          Perubahan adalah kondisi yang menunjukkan perbedaan situasi sebelum dan sesudahnya oleh karena itu perubahan selalu terikat oleh dimensi waktu dan tempat. Sangat benar bila orang mengatakan bahwa sesuatu itu pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Secara umum perubahan social itu mengandung tiga unsur utama, yaitu perubahan pada factor alam, perubahan pada factor teknologi, perubahan pada factor budaya.

            Indonesia sebagai suatu Negara tidak lepas dari konteks perubahan social tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Perubahan social bisa berlangsung secara cepat (revolusi) atau berlangsung secara lambat (evolusi), perubahan sosial bisa juga mempunyai pengaruh yang besar dan perubahan sosial yang memiliki pengaruh kecil, perubahan social juga bisa direncanakan dengan dampak yang diharapkan demikian juga bisa menghasilkan dampak yang tidak diharapkan sebelumnya.
            Faktor – factor yang berubah dalam kehidupan social tersebut bisa berlangsung secara bersamaan dan memiliki pengaruh yang luar biasa, tetapi juga bisa berlangsung secara sendiri – sendiri dan memiliki pengaruh yang tidak nampak secara jelas atau laten.
            Sekarang yang menjadi pemikiran kita adalah apakah Indonesia berubah, kalau berubah yang mana yang berubah, perubahan apa yang terjadi di Indonesia dan memiliki pengaruh besar, perubahan mana yang berlangsung secara cepat, apakah ada perubahan social di Indonesia yang direncanakan dengan baik, apakah perubahan itu sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan. Jangan – jangan perubahan itu berlangsung begitu saja, jangan – jangan perubahan social itu adalah sebuah takdir kehidupan bagi bangsa dan Negara ini tanpa kita berdaya untuk merencanakan, atau perubahan social itu sesuatu yang menyakitkan, atau bangsa kita ini tidak berubah, atau kita harus mati karena perubahan itu sendiri.
            Sebelum kita menganalisis lebih mendalam tentang perubahan, pemikiran kritis kita tentang perubahan harus mampu melihat dimensi perubahan dalam konteks kebaikan (kemaslahatan bangsa dan negara) dan dimensi perubahan yang menghancurkan kehidupan berbagsa dan bernegara, karena tidak semua perubahan itu berdimensi baik dan benar, terkadang perubahan itu lebih mengarah pada dimensi yang mengerikan yaitu menghancurkan dan mematikan sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Antara Perubahan dan Pembangunan di Indonesia
            Perbedaan yang mendasar antara perubahan dan pembangunan adalah perubahan bisa mengarah ke hal yang lebih baik bisa juga mengarah kepada hal – hal yang tidak baik dan benar tanpa adanya perencanaan, sementara itu pembangunan lebih diartikan sebagai suatu konsep perubahan yang lebih baik dan benar melalui perencanaan. Oleh karena itu pembangunan merupakan suatu konsep yang berlawanan dengan kata merusak dimana pembangunan merupakan upaya kearah yang lebih baik dan tidak boleh merusak hal hal yang sudah baik.
            Ketika pembangunan menjadi suatu model dalam perubahan sosial di Indonesia  diharapkan pembangunan mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, alinea ke empat yang berbunyi pembangunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa  dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
            Itulah tujuan pembangunan dari konsepsi berbangsa dan bernegara sebagaimana konsepsi awal terbentuknya negara yang dimaksudkan bahwa negara ini dibentuk bukan untuk kepentingan kelompok atau kepentingan golongan tetapi negara dan bangsa ini dibentuk untuk kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia.
            Pada tataran empirisme, seharusnya bisa dibedakan antara Indonesia berubah dan Indonesia membangun. Ketika kita mengatakan indonesia berubah artinya bahwa indonesia mengalami perubahan bisa kearah yang baik atau bisa ke arah yang tidak baik tanpa adanya perencanaan terdahulu, contohnya Indonesia berubah bisa berarti berubah menjadi negara yang penuh korupsi, berubah menjadi negara yang penuh teror, berubah menjadi negara yang tidak mampu melindunggi warga negaranya, berubah menjadi negara yang miskin, dan perubahan – perubahan lainnya. Tapi apakah perubahan itu yang kita harapkan dan kita rencanakan.
            Berbeda ketika kita mengatakan bahwa Indonesia membangun, artinya Indonesia berubah kearah yang lebih baik dan benar sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan pembangunan diartikan bahwa Indonesia menjadi lebih maju, Indonesia menjadi lebih adil dan makmur, Indonesia lebih bermartabat dan Indonesia menjadi negara yang lebih sejahtera (walfare state).
            Kalau perubahan faktor alam diterjemakan sebagai pembangunan alam Indonesia, seharusnya alam Indonesia ini lebih bermanfaat untuk warga negaranya sendiri, alam digunakan sebagai modal pembangunan berbamgsa dan bernegara. Sebagaimana yang sudah jelas jelas diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Indonesia uang berbunyi, bumi dan air dan kekayaan alam yang lain yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar besarnya untuk masyarakat Indonesia.
            Jadi salah ketika kita menterjemahkan pembangunan alam Indonesia dengan cara mengeksploitasi alam tanpa kendali, atau merusaknya, atau bahkan menjualnya untuk kepentingan asing yang dengan alasan apapun. Indonesia membangun alamnya artinya Indonesia berfikir tentang pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable development) bukan hanya untuk kepentingan kita sesaat saja, tetapi harus diinggat alam juga sebagai warisan generasi mendatang.
            Kalau perubahan tekhnologi diartikan sebagai pembangunan tekhnologi Indonesia, artinya bahwa kita perlu tehnologi untuk membangun bangsa ini, kita tidak boleh tergantung dengan tekhnologi bagsa lain, kita tidak boleh hanya menjadi konsumen tekhnologi tetapi juga harus sebagai produsen dari tekhnologi itu sendiri. Rentetan dari pembangunan tehnologi mengharuskan negara Indonesia untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk tidak hanya sebagai operator saja tetapi juga sebagai inovator tekhnologi di dalamnya.
            Tekhnologi apapun bentuknya pada dasarnya merupakan alat yang membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tekhnologi sebagai suatu alat seharusnya dibawah kendali manusia yang menggunakannya, bukan sebaliknya dimana tekhnologi mengendalikan manusia dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tidak boleh memaksakan tekhnologi yang justru bertentangan dengan nilai – nilai alamiah Indonesia, tekhnologi yang justru akan menghancurkan sendi – sendi berperi kehideupan masyarakat dan berbangsa.
            Dalam kaitan perubahan budaya sebagai suatu pembangunan Indonesia, mengharuskan bangsa Indonesia untuk mengakomudir wujud kebudayaan yang menurut J.J. Honingmann berwujud ides, aktivities dan artifacts, menjadi satu kesatuan maujud dari entitas bangsa. Bentuk ideas yang berpengaruh penting dalam pembangunan negara dan bangsa tentu saja salah satunya terkait ideologi Negara.  Sebuah ideologi adalah jati diri dalam pola perilaku dan acuan perilaku warga negara yang sesuai dengan etika dan norma bangsa.
            Dalam konteks persaingan ideologi sekarang ini, kemenangan sebuah ideologi bukan ditentukan oleh baik dan benarnya suatu ideologi tersebut. Tetapi lebih ditentukan oleh siapa yang mendukung ideologi tersebut, ideologi tersebut akan memenangkan persaingan bila  didukung oleh kekuasaan apalagi bila dilegitimasi oleh kaum intelektual yang berpihak.
            Kebudayaan sebagai bentuk aktivitas bangsa yang membangun, sudah seharusnya mengedepankan produktivitas bangsa sebagai aspek tujuan utamanya. Warga negara sudah harus berfikir seberapa banyak yang bisa diberikan oleh dirinya kepada bangsa ini, yang diberikan kelompoknya kepada bangsa ini, bukan malah sebaliknya menjadi beban negara dengan menggerogoti apa yang dimiliki oleh bangsa dan negara ini.
            Kebudayaan sebagai maujud artifacts meliputi seluruh kebendaan yang menjadi identitas pembangunan bangsa dan negara ini, pembangunan infrastruktur negara ini merupakan artifacts dari bangsa ini. Persoalan pembangunan artifacts bukan hanya persoalan seberapa megah dan seberapa mahal proyek yang dijalankan, tetapi juga meliputi bagaimana sebuah proses proyek itu dilakukan. Sebuah proses pembangunan artifacts bangsa meliputi dari proses perencanaan sampai proses evaluasi kebijakan. Jangan sampai artifacts bangsa ini dibuat melalui proses yang menyakitkan yang ujung ujungnya adalah simbul kebendaan semata dan alat untuk mencari keuntungan oleh seseorang atau sekelompok orang.

Visi Ideologis Pembangunan
            Tuntutan akan perlunya pemahaman mengenai paradigma pembangunan, menjadikan bangsa ini wajib mengidentifikasi dan memberikan skala prioritas dalam menangani masalah – masalah berbangsa dan bernegara. Lemahnya visi ideologis dan teori mengenai pembangunan sebagai perubahan sosial berpengaruh pada metodologi yang diterapkan. Sering dalam proses kebijakan menempatkan masyarakat sebagai obyek, padahal pembangunan bangsa seharusnya bercita – cita untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai subyek dari pembangunannya sendiri.
            Ketidak jelasan visi ideologis pembangunan negara ini menjadikan inkonsistensi antara cita – cita dan implementasi kebijakan pembangunan. Ketidak jelasan visi ideologis juga telah mengakibatkan hambatan peran atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu peran masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah utama dalam upaya demokratisasi ekonomi, politik, budaya, gender serta aspek sosial lainnya.
            Yang seharusnya juga dipahami tentang visi ideologis pembangunan adalah ditegakkannya prinsip – prinsip pembangunan yang memperhatikan perkembangan kemanusiaan secara utuh, yang memiliki sensitivitas kultural terhadap kelompok – kelompok minoritas, serta pembangunan yang memberi ruang bagi penentuan nasib sendiri bagi kaum marginal. Pembangunan sebagai konsep perubahan sosial mendatang seharusnya menghormati kedaulatan bangsa dan rakyat, serta suatu proses sosial yang dibangun atas sensitivitas ekologi yang sustainable, serta penghormatan atas hak – hak asasi manusia baik hak – hak sipil politik maupun hak sosial ekonomi budaya.
            Yang jelas pembangunan bangsa sebagai suatu proses perubahan sosial memerlukan kita semua untuk saling bahu membahu membangun bangsa dengan segala konsekwensi dan resikonya. Pembangunan bangsa dan negara harus mengedepankan kepentingan umum (publik) diatas kepentingan pribadi dan golongan. Pembangunan bangsa ini membutuhkan bantuan aku, kamu dan mereka!



   

GAGALNYA REFORMASI


Reformasi: Revolusi Sosial yang Gagal di Indonesia?


Penulis:
Totok Budiantoro,S.Sos

            Ketika reformasi digulirkan tahun 1998-an di Indonesia, banyak harapan-harapan  tentang kebebasan bangsa dan negara dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Tapi apa yang terjadi setelah reformasi digerakkan, kemerdekaan bangsa dan Negara dari belenggu KKN bukannya bertambah baik tetapi semakin bertambah memprihatinkan. Secara sederhana indikasi ini dapat kita lihat dari beberapa survey dan penelitian lima tahun terakhir yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat terburuk di Asia dalam penegakan hukum (Surya, 2005), daya saing global Indonesia yang menduduki peringkat 56 kalah jauh dibandingkan Negara Asean lain seperti Malaysia yang menduduki peringkat 28 dan Singapura yang menduduki peringkat 3 Dunia (Jawa pos, 2005), tingkat indeks korupsi di Indonesia yang menunjukkan terburuk di Asia dan beberapa prestasi kegagalan lain tentang arti bangsa dan Negara yang sejahtera (walfare state).
            Di bidang politik, beberapa catatan suram juga banyak dijumpai dalam lembaran sejarah  setelah reformasi digulirkan. Jumlah partai yang banyak setelah reformasi merupakan konsekwensi harga demokrasi yang harus dibayar mahal oleh bangsa ini. Mahal dalam arti materi dalam pembiayaan penyelenggaraannya oleh keuangan Negara, juga mahal dalam arti energi yang harus ditumpahkan oleh anak bangsa dalam menjalankannya. Meskipun demokrasi yang dihasilkan masih dalam bentuk demokrasi  instrumental belum menunjukkan demokrasi yang substansial. Dan masih banyak lagi cerita suram sepanjang awal tahun ini dengan kebohongan di KPU, kebohongan di Mahkamah konstitusi yang notabene adalah lembaga tinggi negara yang seharusnya jauh dari bau – bau busuk tentang kebohongan publik. Belum lagi jambu (janji – janji busuk), meminjam istilah sebuah lagu populer, dari para wakil rakyat terhadap janji – janji sebelum kampanye dan kenyataan setelah terpilih jadi wakil rakyat baik di Pilpres, Pilgub, Pilkada maupun pemilihan wakil – wakil dari legeslatif.
            Kegagalan itu semakin memiriskan ketika kita melihat bagaimana jumlah penganguran di Indonesia yang semakin banyak, terorisme yang semakin merajalela, pelayanan publik yang dari tahun ketahun tidak menunjukkan perubahan yang semakin baik, dan masih banyak catatan suram di negeri ini raport merah setelah reformasi digulirkan.
            Sekarang pertanyaannya kita sebagai anak bangsa, apakah reformasi kita sudah benar – benar gagal, apakah reformasi merupakan suatu perubahan yang direncanakan, apakah reformasi merupakan revolusi sosial yang gagal, atau jangan – jangan ini sebuah takdir!

Reformasi: Revolusi sosial
            Revolusi sosial adalah perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara. Kalau karl marx menterjemahkan revolusi sosial sebagai motor pengerak sejarah (Theda Skocpol, 1991). Sering terjadi bahwa revolusi sosial merupakan momentum dalam sejarah dunia modern. Theda Skocpol telah mencatat dalam bukunya, istilah revolusi bermula di Perancis 1790-an, kemudian berlanjut sampai di vietnam pada pertengahan abad keduapuluh, dan yang baru baru ini di beberapa negara di kawasan timur tengah, revolusi telah membawa perubahan pada organisasi negara, struktur kelas sosial dan ideologi yang dominan.
            Revolusi telah melahirkan banyak negara yang memiliki kekuasaan dan otonomi yang jauh melebihi kekuasaan dan otonomi mereka sebelum revolusi. Revolusi perancis telah mengubah negara perancis menjadi kekuatan penakluk di Benua Eropa, Revolusi Rusia telah membangkitkan negara Rusia menjadi negara adidaya industri dan militer, Revolusi Meksiko menjadikan negara itu salah satu negara berkekuatan politik dan pasca penjajahan yang maju industrinya dan menjadi negara Amerika latin yang paling jarang mengalami kudeta militer. Dalam catatan Theda Skocpol (1991), beberapa kasus revolusi sosial telah memunculkan model – model dan cita – cita yang mempunyai dampak dan daya tarik internasional yang sangat besar, khususnya apabila negara yang mengalami perubahan itu mempunyai kekuatan besar yang secara geopolitik penting, aktual atau potensial.
            Setelah revolusi Perancis, angkatan bersenjata Perancis yang patriotik menguasai sebagian besar daratan Eropa. Demikian juga Revolusi Rusia telah membuat negara kapitalis barat tercengang dan menjadi motivator ambisi bangsa – bangsa yang sedang tumbuh dengan cara menunjukkan bahwa suatu kekuatan negara revolusioner dapat merubah negara pertanian yang terbelakang  menjadi negara yang kekuatan industri dan militernya ditakuti dunia.
            Revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, walaupun revolusi kemerdekan Republik Indonesia tahun 1945 tidak sampai menjadi kekuatan yang seperti negara perancis yang menguasai negara – negara sekitarnya, atau seperti negara Rusia yang menjadi negara dengan kekuatan militer yang ditakuti oleh bangsa – bangsa di dunia, setidaknya revolusi kemerdekan Republik Indonesia telah menginspirasi beberapa di kawasan Asia dan Afrika, pasca kemerdekaan sempat Indonesia disegani oleh beberapa Negara Di dunia. Bahkan menjadi salah satu pemimpin dalam usaha kemerdekaan bangsa – bangsa di Asia dan Afrika.
            Reformasi Indonesia sebagai revolusi sosial, apa yang terjadi dengan Negara Indonesia setelah terjadi Reformasi, apakah menjadi negara yang semakin meluas dan kuat, apakah revormasi menjadikan negara Republik Indonesia semakin dikdaya secara militer dan industri, apakah reformasi menjadikan negara semakin disegani oleh negara lain, apakah reformasi menjadikan negara ini menjadi inspirasi kebebasan dari kemiskinan dan keadilan bagi bangsa lain, apakah justru reformasi menjadikan kehancuran dan malapetaka bagi bangsa dan negara ini.
            Jangan – jangan reformasi kita sudah tidak benar lagi, yang justru menjadikan negara tidak semakin meluas malahan semakin menyempit seperti lepasnya Timor timur dan beberapa pulau di Indonesaia ke negara lain, Justru reformasi menjadikan bangsa kita tidak digdaya di bidang militer dan industri, anggaran militer semakin minim dan banyak industri yang pindah ke negara lain, jangan – jangan reformasi justru menjadikan bangsa ini tidak dihormati oleh bangsa lain seperti kasus TKI di Malaysia dan Arab saudi, jangan – jangan dengan reformasi yang kita lakukan menjadikan kita tambah miskin, tidak adil dan tidak berdaya?
            Pertanyaan – pertanyaan yang suram dan mengugat seperti tersebut diatas mahu tidak mahu harus kita pertanyakan ulang meskipun menyakitkan. Bangsa dan negara ini harus menata ulang tujuan dan buah yang dihasilkan dari reformasi yang terjadi. Jangan sampai reformasi sebagai perubahan sosial budaya tidak menuju kepada kesejahteraan tetapi malah menuju kehancuran yang mengenaskan dan mati.

Selasa, 28 Juni 2011

Paradigma Ilmu Administrasi Negara

Paradigma Administrasi Publik
Administrasi publik lama 
Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi.Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.
Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publik modern tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul ”The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masa itu.
Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan didalam tulisannya yang diberi judul, ”The Study of Adminisration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satua bad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.

Administrasi publik baru 
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).
Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.
Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nila- nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Patologi birokrasi
Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.
Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. -
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Revitalisasi administrasi publik 
Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).
Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).
Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996).
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebut introjection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.
Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan.
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat patenal(patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukuphakiki.
Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivilaged). Sikap keberpihakkan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah.
Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak.
Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi.
(Bahan Diskusi, diolah dari berbagai sumber)