Powered By Blogger

Rabu, 12 Januari 2011

Perbedaan berfikir filsafat dan berfikir Filsafati


Berfikir filsafat
            Berfikir menurut Aristoteles adalah berbicara dengan dirinya sendiri di dalam batin. Sedangkan berfikir dengan benar mengandung pengertian mempertimbangkan, merenungkan, menganalisa, membuktikan sesuatu, menunjukkan alasan alasan, meneliti suatu jalan pikiran, mencari bagaimana berbagai hal berhubungan satu sama lain, menarik kesimpulan, mengapa atau untuk apa sesuatu terjadi dan membahasakan suara realitas.
 Menurut para filsuf ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu kekaguman atau keheranan, keraguan atau kegengsian, dan kesadaran akan keterbatasan (Soetriono, 2007). Plato mengatakan: “Mata kita memberi pengamatan bintang bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat.”
            Augustinus dan Descartes memulai berfilsafat dari keraguan atau kesangsian. Manusia heran, tetapi kemudian ragu ragu, apakah ia sedang ditipu panca indranya yang sedang heran? Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk berfikir lebih mendalam, menyeluruh dan kritis untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berfikir secara mendalam, menyeluruh, dan kritis inilah yang kemudian disebut berfilsafat (Soetriono, 2007).
            Menurut Soetriono (2007), berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang kadang dimulai apabila manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah, terutama dalam menghadapi kejadian-kejadian alam. Apabila seseorang merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadaran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa diluar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran hakiki.
            Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat berarti
mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau.
            Berfilsafat tentang ilmu berarti keterus terangan pada diri sendiri: apakah sebenarnya yang kita ketahui tentang ilmu itu? Apakah ciri ciri yang hakiki yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan lain yang bukan ilmu? Bagaimana mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar? Kriteria apa yang dipakai dalam menentukan kebenaran secara ilmiah? Mengapa ilmu mesti dipelajari? Apa keguanaan ilmu yang sebenarnya? Berfilsafat berarti mengevaluasi segenap pengetahuan yang telah diketahui.
            Menurut Soetriono (2007), pengertian filsafat dapat dirangkum menjadi berikut:
-          Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis
-          Filsafat adalah hasil pikiran manusia yang paling mendalam
-          Filsafat adalah refleksi lebih lanjut daripada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan.
-          Filsafat adalah hasil analisis dan abstraksi
-          Filsafat adalah pandangan hidup
-          Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh.



Berfikir Filsafati
            Karakteristik berfikir filsafati adalah  sifat menyeluruh, sifat mendasar dan sifat spekulatif. Orang yang berfikir filsafati berarti orang tersebut membongkar tempat berpijak secara fundamental. Dia tidak percaya begitu saja bahwa ilmu itu benar. Mengapa ilmu dapat disebut benar? Bagaimana proses penilaian berdasarkan kriteria tersebut dilakukan? Lalu benar itu apa? Pertanyaan itu melingkar sebagai sebuah lingkaran yang untuk menyusunnya, harus dimulai dari sebuah titik, sebagai awal sekaligus sebagai akhir (Soetriono, 2007).
            Seorang ilmuan tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari sisi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan moral, dengan agama, dan apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada dirinya?.
            Menurut Soetriono (2007), dalam sifat spekulatif berfikir filsafati, tidaklah mungkin manusia menangguk pengetahuan secara keseluruhan, bahkan manusiapun tidak yakin pada titik awal yang menjadi jangkar pemikiran yang mendasar. Itu hanya sebuah spekulasi. Menyusun sebuah lingkaran memang harus dimulai dari sebuah titik, bagaimanapun spekulatifnya. Yang penting dalam prosesnya nanti, dalam analisis maupun pembuktiannya, manusia harus dapat memisahkan spekulasi mana yang paling dapat diandalkan. Tugas filsafat adalah menetapkan dasar dasar yang dapat diandalkan. Apakah yang disebut logis? Apakah yang disebut benar? Apakah yang disebut sahih? Apakah alam ini teratur atau kacau? Apakah hidup ini ada tujuannya?
            Semua pengetahuan dimulai dari spekulatif. Dari serangkaian spekulatif tersebut dapat dipilih buah pikiran yang paling dapat diandalkan, yang merupakan titik awal dari penjelajahan pengetahuan. Tanpa menerapkan apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain berkembang atas dasar pengetahuan. Tanpa menetapkan apa yang dimaksud baik atau buruk tidak mungkin bicara tentang moral.


DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, 2005, Filsafat Ilmu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Fakih, Mansour, 2009, Buntunya Teori Pembangunan dan Globalisasi, INSISTPress, Yogyakarta.
Soetriono & Rita Hanafie, 2007, Filsafat ilmu dan Metodologi Penelitian, Andi,      Yogyakarta.
Suriasumantri, Jujun, 1993, Filsafat ilmu sebuah pengantar Populer, Pustaka Sinar harapan, Jakarta.
Thoha, Mahmud, 2004, Paradigma Baru Ilmu Pengetahuan sosial & Humaniora, TERAJU, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar