Powered By Blogger

Sabtu, 01 Januari 2011

UPAYA ADMINISTRASI PUBLIK MENGADOPSI TEKNIK TEKNIK
MANAJEMEN SEKTOR BISNIS
Oleh: Totok Budiantoro

Pembahasan tentang pelayanan public di Indonesia telah lama dimulai. Wacana Ilmiah. baik dalam bentuk pemikiran maupun penelitian baik yang dilakukan oleh akademisi maupun dikalangan praktisi pemerintahan berupaya keras untuk menghasilkan konsep serta upaya pemecahan terhadap permasalahan pelayanan Publik.
            Upaya untuk menjadikan pelayanan Publik terstandarisasi sebagaimana pelayanan privat bukan sekedar persoalan mengadopsi standar standar sebagaimana yang lazim digunakan dalam standarisasi di pelayanan privat. Persoalannya lebih banyak pada bagaimana pelayanan publik mampu dan mahu mengunakan standar yang ada pada sektor pelayanan privat.
            Tuntutan masyarakat akan kualitas pelayanan publik yang baik sudah tidak bisa ditunda tunda lagi. Pelayanan publik yang prima bukan lagi sekedar tuntutan tetapi sudah merupakan hak bagi masyarakat. Dalam konteks persaingan pelayanan publik yang baik adalah suatu keungulan. Keunggulan yang bisa digunakan dalam konteks memenangkan persaingan. Kompetisi yang terjadi sekarang ini tidak hanya terjadi pada ranah lokal, tetapi sudah mengarah pada kompetisi yang sifatnya global. Dimana negara yang mampu memberikan pelayanan publik yang maksimal tentu saja akan memberikan dampak yang luar biasa dalam memberikan kontribusi untuk memenangkan persaingan. Dampak langsung dari pelayanan publik yang prima, bisa memotong secara langsung ekonomi biaya tinggi (hight cost economy), dalam variabel kecepatan pelayanan dan kepastian waktu pelayanan.

POLA PELAYANAN SEKTOR PUBLIK
            Ada beberapa pola pelayanan sektor publik yang perlu dikaji dalam bentuk bentuk pelayanannya. Berikut pola yang biasa digunakan dalam proses pelayanan di sektor publik:
  1. Pola pelayanan fungsional yaitu pola pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya. Pola ini mengakomodir kondisi daerah dengan beban tugas, volume dan intensitas kegiatan pelayanan perizinan dan non perizinan yang relatif tidak terlalu tinggi, sehingga cukup realistis untuk dilaksanakan oleh Dinas/Instansi yang membidanginya. Pertimbangan lain, pola ini disesuaikan dengan ; kondisi geografis, luas wilayah, tersedianya aparat pelaksana dilihat dari kualitas dan kuantitasnya, dan kemampuan keungan daerah untuk membiayai kegiatan pelayanan publik secara terpadu.
  2. Pola Pelayanan Terpusat yaitu pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.
  3. Pola Pelayanan Terpadu. Ada bentuk pelayanan terpadu. Pertama Pelayanan terpadu satu atap yaitu pola pelayanan yang diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani melalui berbagai pintu. Kedua Pola Pelayanan terpadu satu pintu yaitu pelayanan diselenggarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu. Ketiga pola gugus tugas yaitu petugas pelayanan publik secara perseorangan atau dalam bentuk gugus tugas, ditempatkan pada instansi pemberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan tertentu.
Inilah beberapa pola pelayanan yang dilakukan oleh pelayanan publik. Ada beberapa daerah yang sudah menetapkan pola pelayanan terpadu tapi ada juga beberapa daerah yang masih mengunakan pola lama dalam pelayanannya.
      Kalau kita perhatikan dari beberapa pola tersebut diatas tentu saja ada positif negatifnya. Dan itu sesuatu yang wajar. Persoalan yang lebih mendasar lagi sebetulanya bukan pada pola pola pelayanannya. Tetapi lebih banyak pada persoalan orang orang yang menjadi pelayan publik itu sendiri. Mengunakan pola apapun juga kalau tidak diikuti oleh motif dan filosofis yang baik dan benar dari pelayan publik sulit kiranya untuk berharap pelayanan publik menjadi lebih baik.
      Pelayanan bukan sekedar melakukan sesuatu sesuai dengan tugasnya, pelayanan juga menyangkut dimensi etika dan kepastian kepastian. Sekarang pertanyaannya apakah mungkin menjadikan pelayanan publik menjadi lebih baik sama sebagaimanan pelayanan privat. Motif seringkali diterjemahkan sebagai landasan orang untuk melakukan sesuatu. Ketika orang memiliki motif yang tidak benar (jelek) hampir bisa dipastikan akan menghasilakn sesuatu yang tidak benar dan buruk.

Beberapa Prinsip Penyelenggaraan Pelayanan
      Ada beberapa prinsip dalam penyelenggaraan Pelayanan yang harus ada baik di sektor publik maupun privat. Prinsip prisip ini biasanya terukur dengan jelas agar bisa menjadi acuan dalam pelayanan. Karena pelayanan membutuhkan kepastian agar bisa terukur apakah pelayanan yang dilakukan sudah sesuai dengan standar yang ada, atau melebihi standar, atau mungkin dibawah standar pelayanan.
      Prinsip pertama yaitu kesederhanaan dalam pelayanan, pelayanan seharusnya tidak harus dibikin rumit kalau memang bisa dipermudah. Kedua yaitu kejelasan dan kepastian pelayanan. Pelayanan harus jelas dan pasti tidak menimbulkan multitafsir dan ambiguitas dalam proses pelayanan. Ketiga keamanan dalam pelayanan. Hal ini lebih pada keselamatan dan rasa aman selama proses pelayanan. Keempat yaitu keterbukaan dalam pelayanan. Transparasi dalam pelayanan amat penting, transparan dalam proses, transparan dalam menentukan biaya pelayanan, transparan dalam menentukan prosedur dan transparan dalam barbagai aspek yang lain.
      Prinsip kelima adalah ekonomis dalam pelayanan, pelayanan harus dibikin murah. Kalau bisa murah kenapa harus mahal. Terutama sesuai dengan nilai ekonomis yang ada. Keenam adalah keadilan, dalam pelayanan tidak boleh ada diskriminasi, tidak boleh membedakan pelayanan karena status sosialnya maupun karena kedekatan pribadi. Dalam pelayanan yang baik tidak membedakan apakah yang dilayani itu jendral maupun presiden dengan tukang becak, mereka harus mendapatkan pelayanan yang sama.
      Ketuju adalah efisiensi dalam pelayanan, efisiensi lebih pada bagaimana pelayanan menjadi lebih tepat pada sasaran dan lebih berguna. Sedangkan prinsip yang kedelapan adalah ketepatan waktu dalam pelayanan, prinsip ini mengharuskan pelayanan mengandung kepastian dalam proses penetapan waktu dalam pelayanan. Baik kepastian waktu dalam menunggu pelayanan, waktu proses pelayanan maupun kepastian waktu pelayannya.

Mengurai Permasalahan
      Persoalan utama dalam meningkatkan kwalitas pelayanan publik ssebetulnya tidak hanya berkutat pada pola pola yang selalu diperbaiki. Dari perbaikan pola yang sudah dilakukan birokrasi dalam upaya memperbaiki pelayanan baik itu pola pelayanan fungsional, diperbaiki dengan pola terpusat sampai dengan perubahan menjadi pola terpadu hal ini tidak akan merubah banyak dalam meningkatkan pelayanan publik.
      Mungkin bisa kita ilustrasikan sebagai berikut, sebuah kendaraan yang dinaiki oleh seseorang, baik itu sepedah ontel kemudian diganti sepeda motor sampai kemudian diganti naik mobil yang mampu mencapai kecepatan 300 km/jam, tetapi si pengendara tetap menjalankan kendaraannya 10 km/jam tidak ada gunannya. Tetap saja akan mencapai tujuan relatif lebih lama. Karena persoalannya sipengendara tetap  menjalankan kendaraannya 10 km/jam. Meskikpun kendaraan yang dinaikinya mampu mencapai 300 km/jam ini tidak akan ada gunannya. Tidak akan cepat sampai karena memang sipengendara tidak ingin cepat sampai.
      Inilah problem dalam pelayanan publik kita, kenapa perbaikan dari berbagai pola yang ada tetap saja pelayanan tidak menjadi lebih baik. Karena persoalannya bukan pada pola pola pelayan. Tetapi persoalannya lebih pada orang orang yang melayani disektor pelayanan publik itu sendiri. Persolan motif, persolan culture dan persoalan persoalan psikis lebih dominan kenapa persoalan pelayanan publik sulit untuk dirubah menjadi lebih baik.
      Persoalan motif misalnya, ketika seorang bekerja sebagai pelayan publik menurut penelitian joe fernandes misalnya motif orang untuk menjadi pegawai pemerintah adalah agar mereka bisa bekerja dengan santai dan tidak ada pemecatan (sulit dipecat). Kalau ini sudah menjadi motif sebagian besar dari pelayan publik sulit kirannya kita mendapatkan pelayanan yang semakin baik. Karena pelayanan yang baik membutuhkan kerdja keras bukan kerja santai, pelayanan yang baik membutuhkan reward and punisment, yang melayani melebihi standar mendapat hadiah sementara yang melayani dibawah standar mendapat penghukuman. Kalau motifnya sudah seperti apa yang diteliti joe fernandes apakah bisa semakin baik?
      Persoalan pelayanan kita bukan sekedar diranah perbaikan orang orang birokrasi, tetapi sudah menyangkut pada aspek politis. Mampukah? Dan beranikah? Orang orang yang memegang jabatan politis seperti bupati/ walikota, Gubernur, sampai presidenpun untuk merubah ini. Birokrasi kita sangat kuat, mempunya bargaining position yang sangat kuat. Biasanya yang terjadi pemegang jabatan politis lebih banyak kompromi kompromi dengan orang orang birokrasi agar kekuasaan yang ada padanya tidak digoncang dan langeng.
      Pertanyaan besar sekarang, haruskah kita selalu berkutat pada persoalan perubahan pola pola pelayanan dan bukan pada persoalan substansi penyebab kenapa persoalan pelayanan publik tidak semakin lebih baik? Atau persoalan keberanian pemegang jabatan politis untuk merubah sikap birokrasi yang dipimpinya? Mungkin kita perlu bertanya kenapa Ebiet G.Ade selalu bertanya pada rumput yang bergoyang?

Totok Budiantoro
5 september 2010
Jl. Gumitir 1 singotrunan - Banyuwangi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar