Powered By Blogger

Selasa, 28 Juni 2011

Paradigma Ilmu Administrasi Negara

Paradigma Administrasi Publik
Administrasi publik lama 
Administrasi publik merupakan ilmu sosial yang dinamis, setiap saat senantiasa mengalami perubahan sejalan dengan perubahan zaman, peradaban dan teknologi.Berbagai aspek administrasi sebenarnya telah ada dan dijalankan semenjak peradaban manusia mulai terstruktur. Kekaisaran Romawi kuno, berbagai dinasti di China, misalnya, bahkan kerajaan-kerajaan di Nusantara pun sebenarnya telah mempraktekan adminstrasi.
Awal pemikiran atau embrio dari konseptualisasi administrasi publik modern tidak terlepas dari para pemikir mengenai politik dan pemerintahan, seperti Plato, Aristotle dan Machiavelli. Machiavelli misalnya pada tahun 1532 menulis buku berjudul ”The Prince” yang menjelaskan beberapa petunjuk bagi para penguasa dalam menjalankan kekuasaannya didaratan Eropa pada masa itu.
Banyak ahli sependapat bahwa dasar-dasar pemikiran administrasi publik modern diletakkan oleh seorang profesor ilmu politik yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson. Pemikiran Wilson dituangkan didalam tulisannya yang diberi judul, ”The Study of Adminisration” yang diterbitkan pada tahun 1873. Konsep dari Wilson yang terkenal adalah pemisahan antara politik dan adminstrasi publik. Sejak itu, selama satua bad lebih administrasi publik, baik sebagai bidang studi maupun sebagai profesi terus berkembang.
Proses industrialisasi yang berlangsung pesat di Amerika dan Eropa pada awal abad 20, mendorong berkembangnya konsep-konsep manajemen, seperti manajemen ilmiah dari Taylor (1912) yang diperkuat antara lain oleh Fayol (1916) dan Gulick (1937), dan konsep-konsep organisasi, seperti model organisasi yang disebut birokrasi dari Weber (1922). Banyak pemikiran baru lahir pada sekitar pertengahan abad ke 20, antara lain yang besar sekali dampaknya pada perkembangan ilmu administrasi, adalah dari Simon (1947) seorang ahli ekonomi, yang kemudian memperoleh hadiah Nobel. Ia mengetengahkan pandangan yang terus melekat dalam perkembangan ilmu ini selanjutnya, yaitu bahwa pada intinya administrasi adalah pengambilan keputusan.

Administrasi publik baru 
Pemikiran dalam administrasi yang berkembang selanjutnya sangat dipengaruhi oleh paham-paham demokrasi, seperti administrasi yang partisipatif, yang menempatkan administrasi di tengah-tengah masyarakatnya dan tidak di atas atau terisolasi darinya (Montgomery, 1988). Pemikiran ini selain ingin menempatkan administrasi sebagai instrumen demokrasi, juga mencoba menggunakan administrasi sebagai alat untuk menyalurkan aspirasi masyarakat bawah. Implikasi lain dari pemikiran tersebut adalah bahwa sistem administrasi memiliki dimensi ruang dan daerah yang penyelenggaraannya juga dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, dan ekonomi. Kesemua itu menuntut reorientasi peranan administrasi publik.
Dalam upaya merevitalisasi ilmu administrasi, Waldo memprakarsai pertemuan sejumlah pakar muda ilmu administrasi, untuk mempelajari masalah-masalah konseptual yang dihadapi ilmu administrasi, dan berusaha memecahkannya. Perkembangan itu melahirkan dorongan untuk meningkatkan desentralisasi dan makin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. Kesemua itu menandakan bergulirnya gerakan administrasi publik baru (new public administration).
Pada dasarnya administrasi publik baru itu ingin mengetengahkan bahwa administrasi tidak boleh bebas nilai dan harus menghayati, memperhatikan, serta mengatasi masalah-masalah sosial yang mencerminkan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Frederickson (1971), seorang pelopor gerakan ini lebih tegas lagi menyatakan bahwa administrasi publik harus memasukkan aspek pemerataan dan keadilan sosial (social equity) ke dalam konsep administrasi. Ia bahkan menegaskan bahwa administrasi tidak dapat netral. Dengan begitu administrasi publik haru mengubah pola pikir yang selama ini menghambat terciptanya keadilan sosial. Kehadiran gagasan-gagasan baru itu menggambarkan lahirnya paradigma baru dalam ilmu administrasi.
Dari uraian di atas tampak bahwa administrasi publik modern, baik sebagai ilmu maupun dalam praktik, terus berkembang, baik di negara berkembang (sebagai administrasi pembangunan) maupun di negara maju dengan berbagai gerakan pembaharuan. Demikian juga terlihat bahwa ada konvergensi dari pemikiran-pemikiran yang melahirkan berbagai konsep pembangunan dengan pandangan-pandangan dalam ilmu administrasi yang mengarah pada makin terpusatnya perhatian pada aspek manusia serta nila- nilai kemanusiaan yang tercermin dalam berbagai pendekatan yang sedang berkembang, termasuk konsep pembangunan yang berkelanjutan.

Patologi birokrasi
Tantangan yang besar yang dihadapi administrasi publik dihampir semua negara, adalah prevalensi dari patologi birokrasi, yaitu kecenderungan mengutamakan kepentingan sendiri (self-serving), mempertahankan status-quo dan resisten terhadap perubahan, cenderung terpusat (centralized), dan dengan kewenangannya yang besar, sering kali memanfaatkan kewenangan itu untuk kepentingan sendiri.
Khususnya di negara berkembang, Heady (1995) menunjukkan ada lima ciri administrasi publik yang umum ditemukan.
Pertama, pola dasar atau (basic pattern) administrasi publik di negara berkembang, bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity) yang memadai, memiliki keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence).
Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain daripada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (performance oriented). Riggs (1964) menyatakannya sebagai preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (publicprincipled interest). Dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi di negara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. -
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Riggs (1964) menyebutkan fenomena umum ini sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-undangan yang tidak mungkin atau tidak pernah dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi.
Kelima, birokrasi di negara berkembang acap kali bersifat “otonom”, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan publik. Administrasi publik di negara berkembang umumnya belum terbiasa bekerja dalam lingkungan publik yang demokratis.
Revitalisasi administrasi publik 
Meningkatnya berbagai permasalahan baik sosial, ekonomi, maupun fisik berkaitan dengan pertumbuhan yang pesat dari wilayah metropolitan, bersamaan dengan kondisi kemiskinan di perdesaan. Hal itu mendorong konsep pembangunan dengan pendekatan baru, yaitu dengan penataan ruang, seperti mengarahkan industri berlokasi di kawasan yang diperuntukkan bagi industri, mengamankan kawasan-kawasan sawah produktif dan atau beririgasi teknis, mengamankan kawasan-kawasan berfungsi lindung, sehingga terwujud struktur ruang yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sesuai dan berkelanjutan (Rondinelli, 1976).
Tata ruang mengandung arti penataan segala sesuatu yang berada di dalam ruang sebagai wadah penyelenggara kehidupan. Konsep tata ruang menurut Foley (1964), tidak hanya menyangkut wawasan spasial, tetapi menyangkut pula aspek-aspek nonspasial atau aspasial. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa struktur fisik sangat ditentukan dan dipengaruhi pula oleh faktor-faktor nonfisik seperti organisasi fungsional, pola sosial budaya, dan nilai kehidupan komunitas (Wheaton, 1974 dan Porteous, 1977).
Demikian pula tata ruang bukan hanya mengakomodasi kegiatan ekonomi yang akan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga harus mengembangkan sistem alokasi ruang yang memberdayakan rakyat kecil (Kartasasmita, 1996).
Dari pengalaman empiris selama ini diketahui betapa tidak mudahnya melaksanakan pembaharuan birokrasi. Sebabnya mungkin adalah pendekatan yang seringkali bersifat formal struktural, yaitu kepada penataan organisasi dan fungsi-fungsi. Yang sesungguhnya amat penting, tetapi lebih sulit untuk dilakukan, adalah pembaharuan pada sisi nilai-nilai yang membentuk manusia-manusia birokrat. Dengan demikian pembangunan budaya birokrasi adalah lebih utama dibanding pembaharuan yang hanya bersifat struktural (Kartasasmita, 1997). Internalisasi nilai-nilai yang oleh Riggs (1966) disebut introjection merupakan kunci terhadap peningkatan kinerja birokrasi.
Terutama yang perlu menjadi perhatian adalah memperbaiki sikap birokrasi dalam hubungan dengan masyarakatnya. Di dalamnya terkandung berbagai unsur, antara lain sebagai berikut (Kartasasmita, 1997).
Pertama, birokrasi harus mengembangkan keterbukaan (transparency). Yang acapkali membuat birokrasi jauh dari masyarakat atau masyarakat yang harus dilayaninya jauh dari birokrasi adalah ketertutupan.
Kedua, berkaitan dengan keterbukaan adalah kebertanggungjawaban (accountability). Ketertutupan menyebabkan birokrasi menjadi sulit dimintai pertanggungjawaban.
Ketiga, birokrasi harus membangun partisipasi. Pengalaman banyak negara menunjukkan bahwa untuk berhasilnya pembangunan, partisipasi masyarakat amat diperlukan. Partisipasi harus dilandasi oleh kesadaran, bukan karena paksaan.
Keempat, peran birokrasi harus bergeser dari mengendalikan menjadi mengarahkan, dan dari memberi menjadi memberdayakan (empowering). Ini merupakan konsep yang amat mendasar, dan untuk negara dimana hubungan birokrasi dengan rakyat secara historis dan tradisional bersifat patenal(patronizing) memerlukan penyesuaian budaya birokrasi yang cukuphakiki.
Kelima, birokrasi hendaknya tidak berorientasi kepada yang kuat, tetapi harus lebih kepada yang lemah dan kurang berdaya (the underprivilaged). Sikap keberpihakkan (affirmative) ini hanya akan ada kalau ada pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat di lapisan bawah.
Keenam, membangun etika birokrasi. Di bidang administrasi publik, masalah etika dalam birokrasi menjadi keprihatinan yang sangat besar, karena prilaku birokrasi mempengaruhi bukan hanya dirinya, tetapi masyarakat banyak.
Ketujuh, menegakkan prinsip-prinsip desentralisasi. Desentralisasi dan otonomi daerah, merupakan langkah yang amat penting dan telah menjadi keharusan, dalam rangka meningkatkan pelayanan dan partisipasi publik. Pendelegasian wewenang ke daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, harus disertai dengan upaya penataan kembali birokrasi.
(Bahan Diskusi, diolah dari berbagai sumber)

Kamis, 16 Juni 2011

Model - Model Kebijakan Publik


MODEL DALAM KEBIJAKAN PUBLIK


Model adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu, model kebijakan biasanya dinyatakan dalam bentuk konsep teori, diagram, grafik atau persamaan matematika. Model kebijakan public harus memiliki karakteristik, sederhana dan jelas, ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan, menolong untuk pengkomunikasian, usaha langsung untuk memahami kebijakan public secara lebih baik (manageable) dan memberikan penjelasan & memprediksi konsekwensi.
Menurut Yehezkel Dror, ada beberapa model pembuatan kebijakan yaitu; Pure rationality model, Economically rational model, Sequential-decision model, Incremental model, Satisfycing model, Extra-rational model, Optimal model. W.N. Dunn membagi tipe model kebijakan dalam dua perspektif. Pertama, Model deskriptif yaitu menjelaskan implementasi sebab dan konsekwensi pilihan kebijakan, contoh, model indikator social. Kedua, Model normative yaitu menjelaskan, memprediksi, merekomendasi optimalisasi usaha contoh, model antrian, model biaya manfaat dan lain sebagainya. E.S. Quade membagi kategori model kebijakan kedalam beberapa bentuk; Model analitik, untuk situasi yang kompleks, digunakan dalam riset operasi; Model simulasi, merupakan bentuk eksperimen semu, model analog, penggunaan computer; Model permainan, manusia terlibat langsung, permainan perang-perangan, keterlibatan secara simultan; Model penilaian, tidak eksplisit (ekspresi verbal, berbentuk analogi), banyak dalam pikiran, model mental, misalnya karakteristik organisasi.

Beberapa Model Terpilih
            Ada beberapa model terpilih dimana setiap model memiliki focus yang berbeda tentang kondisi politik dan membantu memahami berbagai perbedaan tentang kebijakan public. Beberapa model terpilih tersebut adalah:
a. Model Institusional, menjelaskan bagaimana peraturan pemerintah dengan institusi pemerintah sangat dekat. Sesuatu kebijakan tidak akan menjadi peraturan pemerintah kecuali jika diformulasikan, implementasi dan dipaksakan oleh lembaga pemerintah, lembaga pemerintahan memberikan tiga cirri utama, legitimasi, universalitas dan paksaan.  Masyarakat harus patuh karena adanya legitimasi politik dan berhak memaksakan peraturan pemerintah tersebut.
b. Model elit – massa, model ini merupakan abstraksi dari suatu pembuatan peraturan pemerintah yang identik dengan perspektif elite politik. Isu kebijakan yang akan masuk agenda perumusan kebijakan merupakan kesepakatan dan juga hasil konflik yang terjadi di antara elit politik sendiri.
c. Model Inkremental, para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya dan lebih suka berbuat secara incremental. Kecenderungan ini dikarenakan para pembuat keputusan tidak punya waktu, intelektual, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai nilai social masyarakat dan menghindari konflik jika harus melakukan proses negoisasi yang melelahkan bagi kebijakan baru.
d. Model Group Theory, model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi. Tuntutan tuntutan yang saling bersaing di antara kelompok-kelompok yang berpengaruh dikelola, sebagai hasil persaingan antara berbagai kelompok kepentingan pada hakikatnya adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentingannya masing masing pada waktu tertentu.
e. Model System theory, pendekatan model ini diperkenalkan oleh David Easton yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara organisme dengan lingkungannya yang akhirnya menciptakan kelangsungan dan perubahan hidup yang relative stabil. Ini kemudian yang dianalogikan dengan kehidupan sistem politik.
f. Model Rasional, kebijakan rasional diartikan sebagai kebijakan yang mampu mencapai keuntungan social tinggi, hasil kebijakan harus memberikan keuntungan bagi masyarakat yang telah membayar lebih dan pemerintah mencegah kebijakan bila biaya melebihi manfaatnya. Untuk memilih kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus mengetahui semua keinginan masyarakat dan bobotnya, mengetahui semua alternative yang tersedia, mengetahui konsekwensi alternative, menghitung rasio pencapaian nilai social pada setiap alternative, memilih alternative kebijakan yang paling efisien.
g. Model proses, aktifitas politik dilakukan melalui kelompok yang memiliki hubungan dengan kebijakan public, hasilnya adalah suatu proses kebijakan yang berisi, identifikasi/ pengenalan masalah, perumusan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
h. Model pilihan public, kapan opini public seharusnya menjadi factor penentu terpenting yang sangat berpengaruh pada kebijakan public, seharusnya ada keterkaitan antara opini public dengan kebijakan public (Opinion-policy linkage).


Model-model Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.
Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.
Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut :




1. Van Meter dan Van Horn
Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut :
1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
2. Karakteristik agen pelaksana/implementor
3. Kondisi ekonomi, social dan politik
4. Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

2. George Edward III
Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut, yaitu :
1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ?
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?
Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi

2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah :
a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan.
3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya
4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi.

3. Mazmanian dan Sabatier
Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka :
“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways, ‘structures’ the implementation process”.
Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2008) :
a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

5. Model Grindle
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.
Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan
5. Pelaksana program
6. Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu, konteks implementasinya adalah :
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Implementasi Kebijakan Bottom Up
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan.

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.


Daftar Pustaka
Naisbitt, John, Global Paradox, New York : Avon Books, 1993

E-Learning: Combines Communication, Education, Information, and Training. http://ww.cisco.com/warp/public/10/wwtraining/elearning. Cuban, L. (1996).

Beberapa sumber dari majalah dan Internet.

 
Statistik

Statistik
“Suatu cabang ilmu pengetahuan yang membantu cabang ilmu pengetahuan lainnya dalam mengadakan kesimpulan/ ketentuan (decision making) sehubungan dengan kekurang pastian yang dihadapinya” (Nugroho, Sendi sendi statistic 1982)

Metode Statistik adalah:
Metode penyeleseian suatu soal dengan jalan mengumpulkan data terlebih dahulu.

Ada dua metode statistic yang biasa digunakan:

  1. Metode statistic deskriptif (disingkat statistic diskriptif) adalah cara cara pengumpulan, pengolahan, analisa, penafsiran, dan penyajian dari keterangan (atau Data) bersangkutan.
  2. Metode statistic induktif/ statistic inferens adalah Analisa pembahasan lebih lanjut hasil (kegiatan) statistic deskriptif (Untuk sampai kesatu ketentuan/Kepastian).

Contoh:
Kita ingin meneliti omzet penjualan warung yang ada di kecamatan Banyuwangi

Warung A
Rp. 300.000,- + Rp. 400.000,- + Rp. 250.000,- + Rp 350.000,- + Rp. 550.000
---------------------------------------------------------------------------    = Rp 370.000,-
                                    4 hari

Warung
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Hari 5
Rata rata
Warung A
300.000
400.000
250.000
350.000
550.000
370.000
Warung B
600.000
700.000
1000.000
750.000
800.000
770.000
Warung C
690.000
450.000
550.000
690.000
900.000
656.000

-         Kegiatan mencari rata rata hitung adalah kegiatan statistic deskriptip


-         Tentukanlah warung siapa yang paling berhasil?
-         Warung siapakah yang paling banyak keuntungannya?
-         Dengan modal sebesar X, warung siapakah yang paling banyak keuntungannya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita masuk pada Metode statistic induktif/ statistik inferens.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita memerlukan tambahan sarana (keterangan) untuk menjawab pertanyaan tersebut.
-         Modal warungnya berapa?
-         Lama buka warungnya berapa jam per hari?
-         Lokasinya warungnya dimana?
-         Warung tersebut menjual apa saja?
-         Bagaimana bentuk pelayananya?
-         Dsb?

Data primer adalah :
Data yang kita kumpulkan dan kita pakai sendiri.

Data sekunder adalah :
Data yang tidak kita kumpulkan sendiri (data pendukung).


Arus Kegiatan Statistik
Input



 




Processing



 




Output


Persiapan dalam pengumpulan data :
  1. Mempelajari dengan seksama gambaran yang akan kita teliti
-   Terkait biaya
-   Waktu
-   Tenaga
  1. Mempelajari sudah ada atau belum pengumpulan data yang kita teliti
-   Data primer
-   Data sekunder
  1. Pengunaan definisi
-         Untuk mencegah kesimpang siuran difinisi
-         Untuk menyamakan persepsi
-         Contoh : Depertemen kita mendifinisikan pengangur adalah mereka yang bekerja kurang dari 2 (dua) jam sehari, sedangkan yang lain mendifinisikan pengangur adalah mereka yang bekerja kurang dari 18 (delapan belas) jam seminggi, yang lain mendifinisikan pengangur adalah orang yang tidak bekerja sama sekali dll.
  1. Ruang lingkup (coverage) yang kita teliti / populasi
-         Seluruh karyawan yang kita teliti
-         Atau separuhnya saja
-         Atau mungkin 10% saja
-         Ini terkait sejauh mana informasi yang kita kehendaki, desakan waktu,   keterbatasan biaya, tenaga dll.
  1. Cara pengolahan data
-         Secara manual
-         Dengan mengunakan computer (program statistic)
-         Analisa statistic apa yang kita gunakan
  1. Mempersiapkan daftar pertanyaan, daftar isian, kunjungan/ interview.
  2. Pendokumentasian/ pelaporan hasil penelitian kita.