Powered By Blogger

Rabu, 07 Maret 2012

studi kasus

STUDI KASUS
KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PERDA NO.21 TAHUN 2008
TENTANG PARKIR BERLANGANAN DI KABUPATEN BANYUWANGI
BAB I
LATAR BELAKANG

Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pemerintah dipahami sebagai kebijakan yang dibuat oleh badan-badan pemerintah dan para actor politik yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah public. Lingkup studi kebijakan public sangat luas karena mencakup berbagai bidang atau sector, seperti bidang politik, hokum, pendidikan, pertanian, keamanan luar negeri, keamanan dalam negeri, dan sebagainya. Disamping itu kebijakan public dilihat dari herarkinya, kebijakan public dapat bersifat nasional, regional, maupun lokal, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah kabupaten/kota dan sebagainya.
Menurut pandangan David Easton, ketika pemerintah membuat kebijakan public, ketika itu pula pemerintah mengalokasikan nilai-nilai kepada masyarakat, karena setiap kebijakan mengandung seperangkat nilai didalamnya (Dye,1981). Dalam konteks ini, kebijakan public tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan praktek-praktek social yang ada dalam masyarakat. Ketika kebijakan public berisi nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat, maka kebijak public tersebut pasti akan dapat penentangan atau resistensi dari masyarakat apabila diimplementasikan. Dalam konteks kebijakan public seharusnya mampu mengakomodasi nilai-nhlai yang berkembang dalam praktek kehidupan bermasyarakat.

Implementasi kebijakan
Implementasi kebijakan adalah pelaksanaan serta pengendalian arah dan tindakan kebijakan, sampai dengan dicapainya hasil-hasil kebijakan, implementasi kebijakan merupakan tindakan yang dilakukan oleh individu atau kelompok pemerintah maupun tindakan swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya.
Implementasi kebijakan ini mencakup usaha mengubah keputusan menjadi tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu, dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan kebijakan
Ada beberapa hal terkait implementasi kebijakan public ada sejumlah kebijakan publik yang setelah diputuskan akan terimplementasi degan sendirinya, tahap perumusan dan tahap implementasi kebijakan seringkali bukan merupakan proses yang linier, selama proses implementasi, sering terjadi perubahan keadaan yang “gagal” diantisipasi para pengambil kebijakan implementor dituntut melakukan penyesuaian terhadap tujuan, target, dan strategi kebijakan.
Proses implementasi berisi rangkaian kegiatan pelaksanaan dan pengambilan keputusan (baru) atas umpan balik (feedback) selama proses berlangsung.
Kebijakan Parkir Berlangganan
Implementasi kebijakan parkir berlangganan di kabupaten Banyuwangi merupakan bentuk kebijakan pemerintah daerah dalam upaya untuk mencapai beberapa tujuan terkait dengan kelancaran lalu lintas jalan dan upaya untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Implementasi kebijakan ini tidak lepas dari kewenangan daerah dalam mengelola keuangan daerah, ketertiban daerah, tata ruang kota dan secara umum merupakan upaya pemerintah daerah banyuwangi dalam mensejahterakan masyarakatnya.
Peraturan Daerah ini disusun guna menyesuaikan pengaturan Retribusi Parkir Berlanganan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah jo. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah, dan untuk penyediaan pelayanan, pengaturan, serta pemanfaatan tempat khusus parkir guna memperlancar lalu-lintas jalan.
Peraturan Daearah ini untuk mendukung pengawasan, pengendalian, dan pengaturan kegiatan di tempat parkir. Disusun dalam rangka penyederhanaan cara pembayaran retribusi dan penertiban juru parkir sehingga memberikan kemudahan bagi Wajib Retribusi. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan tersebut dipandang perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Retribusi Parkir Berlanganan.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kajian Terdahulu
Ada beberapa PERDA Kabupaten Banyuwangi yang telah memberikan kontribusi terhadap naiknya PAD kabupaten Banyuwangi, hal inilah yang menjadi salah satu pertimbangan untuk mengimplementasikan PERDA Parkir berlangganan, yang diharapkan akan memberikan kontribusi secara langsung pada kenaikan PAD di kabupaten Banyuwangi, selain itu PERDA Parkir berlangganan diharapkan bisa menjadi solusi positif dalam pengaturan ruang parkir yang ada di daerah banyuwangi.
Studi banding yang dilakukan oleh Beberapa anggota dewan ke berbagai daerah yang telah memberlakukan Parkir berlangganan memberikan rekomendasi/ laporan bahwa Banyuwangi perlu adanya PERDA Parkir Berlangganan.
Ada beberapa PERDA yang telah ditetapkan di Banyuwangi, yang memberikan kontribusi terhadap PAD diantaranya adalah:
1. Perda No.04 Th 2000, Tentang Retribusi Terminal
2. Perda No.09 Th 2008, Pajak Pengambilan dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C
3. Perda No.02 Th. 2002. Tentang Retribusi Izin Penggilingan Padi
4. Perda No.04 Th 2002, Tentang Retribusi Terminal Kendaraan Bermotor, Angkutan Penumpang Umum.
Beberapa retribusi tersebut ternyata memberikan sumbangan yang cukup signifikan terhadap pemasukan PAD di Banyuwangi, maka diharapkan dengan adanya Perda Parkir akan memberikan kontribusi yang positif terhadap PAD di Kabupaten Banyuwangi, sekaligus sebagai alat untuk memberikan solusi positif terhadap persoalan perparkiran.

Kerangka Teori
Untuk mengkaji implementasi pada Perda No.21 Tahun 2008, tentang Parkir Berlangganan maka digunakan analisis model implementasi top-down.
Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut, yaitu :
1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ?
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?
Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi
2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah :
a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan.
3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya.
4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi.



BAB III
PEMBAHASAN

Pro dan Kontra PERDA Parkir Berlanganan
Terjadinya pro dan kontra dalam kebijakan public adalah sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Tidak ada sebuah kebijakan yang akan memuaskan semua pihak, pasti ada yang senang dengan kebijakan tersebut dan yang menentang kebijakan tersebut.
Dikalangan masyarakat umum parkir berlangganan banyak yang menentang, dikarenakan meskipun mereka sudah membayar parkir berlangganan, kenyataan di lapangan sering petugas parkir meminta jasa parkir baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Budaya masyarakat yang ewuh-pakewuh dimana ketika petugas parkir yang menutupi speda motornya dengan kertas karton, meskipun tidak disuruh, akhirnya karena sungkan terpaksa pemilik kendaraan secara terpaksa memberikan uang parkir karena sungkan (Terpaksa) tersebut. Disatu sisi pemerintah daerah untuk meningkatkan PAD salah satunya adalah parkir berlangganan. Dimana peningkatan PAD dari sector parkir ini sangat signifikan.
Pro dan kontra ini sempat diwarnai beberapa demo di berbagai tempat di wilayah banyuwangi. Meskipun dampaknya tidak sampai meluas, penolakan kebijakan parkir berlanganan ini nampak sangat jelas di berbagai tempat.

Beberapa Landasan Hukum Bagi PERDA Parkir Berlanganan di Banyuwangi
1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
3. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3480);
4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3685) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4048);
5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);
6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);
7. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4438); 8. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258);
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3529);
11. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4139);
12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Daerah;
13. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 65 Tahun 1993 tentang Fasilitas Pendukung Kegiatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
14. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 66 Tahun 1993 tentang Fasilitas Parkir Untuk Umum;
15. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Retribusi Daerah;
16. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 175 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Retribusi Daerah;
17. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 73 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perparkiran di Daerah;

Analisa Implementasi Kebijakan
Untuk melihat bagaimana implementasi kebijakan public menurut Edward III dalam Yossa (2007), dapat dianalisis dari 4 (Variabel) yang mempengaruhi implementasi kebijakan public, dalam hal ini kebijakan Perda No.21 Tahun 2008 tentang Parkir di banyuwangi. Variabel tersebut adalah :
1. Variabel Komunikasi
Keberhasilan implementasi kebijakan public, sangat dipengaruhi bagaimana pemerintah sebagai actor pembuat kebijakan dalam mengkomunikasikan kebijakan public yang dibuatnya. Pada proses implementasi kebijakan public, mengkomunikasikan berarti ada proses sosialiasi terhadap kebijakan yang dibuat.
Hambatan pada proses implementasi, bisa diantisipasi dengan pengkomunikasian yang baik dengan pemangku kepentingan terhadap kebijakan yang akan diberlakukan. Adanya beberapa demo yang menuntut tentang diberlakukannya perda parkir di berbagai tempat di wilayah banyuwangi menunjukkan bahwa proses sosialisasi kebijakan tidak diberlakukan secara maksimal.
Masalah penentangan kebijakan perda parkir berlangganan yang dilakukan oleh para petugas parkir liar yang selama ini diuntungkan dengan adanya kebijakan parkir lama, menunjukkan bahwa sosialisasi tentang implementasi perda parkir ini tidak dilakukan dengan baik. Serta masih adanya ketakutan dari beberapa elemen masyarakat terhadap parkir liar juga masih ada. Praktek seperti penarikan petugas parkir, meskipun sudah membayar parkir berlangganan masih muncul dalam dengar pendapat kepada DPRD ketika terjadi demo masalah Perda parkir ini.
Dimensi komunikasi dalam konteks, memberikan informasi kebijakan public, melalui berbagai media yang seharusnya bisa dijadikan alat untuk sosialisasi kebijakan public tidak diberlakukan dengan cara maksimal, dengan alas an pendanaan yang tidak memadai.
2. Variabel Resourcess (sumber-sumber)
sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah :
a. Staff yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan
Keberhasilan dalam implementasi kebijakan parkir berlangganan, bisa berjalan dengan efektif apabila sumber-sumber diantaranya adalah sumber daya manusia yang menagani masalah perparkiran ini. Diantaranya adalah petugas parkir yang professional, cara pembayaran parkir yang mudah, serta pelayanan di bidang infrastrukturnya. Kesiapan-kesiapan pada sumberdaya inilah yang menentukan sukses atau tidaknya implementasi pada parkir berlangganan yang ada di kabupaten Banyuwangi.
Keterampilan petugas parkir ini perlu adanya pelatihan dan pendidikan sesuai dengan bidang tugasnya, termasuk penempatan petugas-petugas parkir diberbagai tempat strategis yang ada di kabupaten Banyuwangi. Selain itu penertiban parkir liar juga harus dilakukan untuk memperbaiki citra pelayanan parkir. Oleh karena itu pemberian seragam kusus perlu diberikan agar kejelasan indentitas ini menjadikan kejelasan petugas yang resmi dan petugas yang tidak resmi.
b. Informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
Informasi ini terkait dengan proses sosialisasi kebijakan dan proses adopsi kebijakan, pemberian informasi yang jelas kepada masyarakat terkait manfaat dari kebijakan parkir berlangganan. Informasi yang transparan akan memberikan edukasi pada masyarakat bahwa dengan adanya parkir berlangganan akan memberikan kontribusi pada PAD yang pada akhirnya dengan meningkatnya PAD akan digunakan kembali untuk pembangunan bagi kabupaten Banyuwangi.
Pemberian informasi ini menjadi perlu karena dengan diketahunya manfaat bagi kebijakan akan memberikan pengertian bahwa parkir berlangganan itu, pada ujungnya kan memberikan keuntungan financial pada keuanggan daerah banyuwangi.
c. Dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
Dukungan ini meliputi seluruh stakeholder yaitu birokrasi, masyarakat, dan organisasi non pemerintah agar implementasi kebijakan parkir ini bisa berjalan sebagaimana yang diharapkan.
Sikap birokrasi yang netral atau bahkan menentang sangat berpengaruh pada keberhasilan implementasi dari parkir berlangaanan ini, tampa dukungan penuh dari birokrasi yang notabene regulator dalam berbagai kebijakan daerah seperti tataruang, Dinas pekerjaan umum dan dinas- dinas yang lain, maka sulit diharapkan kebijakan parkir ini bisa berjalan dengan baik/ berhasil.
d. Wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan.
Kewenangan dan implementasi kebijakan perda parkir sangat tergantung pada eksekutif dan legeslatif yang ada di banyuwangi. Perda harus mendapat persetujuan dari DPRD, tampa persetujuan DPRD tidak mungkin perda parkir bisa diimplementasikan kepada masyarakat.
Persoalan dilapangan sangat tergantung pada kebijakan bupati melalui dinis-dinasnya dalam mensosialisasikan, mengatur maupun memberikan sangsi terhadap perda parkir ini.
3. Variabel Dispotition or Attitude (sikap)
Berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya.
Sikap implementator ini terkait bagaimana pelaksanaan petugas parkir dilapangan, keramahan, kesopanan dan keamanan parkir menjadi acuan bagi masyarakat dalam melihat efektif dan efisiensi dalam pengelolaan perparkiran di daerah banyuwangi dengan diberlakukannya kebijakan parkir berlangganan.
4. Variabel Bureaucratic structure (struktur birokrasi)
Struktur birokrasi sangat menentukan efektif dan efisiensi dalam pengelolaan parkir berlangganan. Suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi.
Birokrasi yang berbelit belit justru akan mempersulit adanya fleksibelitas dalam mengambil keputusan, konteks birokrasi yang miskin struktur dan kaya fungsi yang seharusnya diterapkan dalam implementasi kebijakan perda parkir di kabupaten Banyuwangi.



BAB IV
KESIMPULAN
Kesimpulan
Implementasi kebijakan public bisa berjalan dengan baik apabila didukung oleh seluruh stakeholder, birokrasi sebagai implementator kebijakan tidak bisa bertindak sendiri tampa dukungan oleh semua komponen masyarakat, keberhasilan implementasi kebijakan public sangat tergantung sejauh mana dukungan public terhadap kebijakan tersebut.
Persoalan tentang implementasi kebijakan public bukan hanya sekedar tahapan-tahapan rutin dalam pengambilan keputusan sector public. Implementasi kebijakan public harus mencerminkan tentang sejauh mana kebijakan public tersebut bermanfaat sebesar besarnya bagi masyarakat umum.
Tahapan perumusan kebijakan yang dimulai dari perumusan masalah, agenda kebijakan, pemilihan alternative kebijakan sampai proses penetapan kebijakan harus mencerminkan bahwa kebijakan tersebut benar benar demi kepentingan masyarakat umum, bukan kepentingan individu maupun kepentingan kelompok. Oleh karena itu keterlibatan masyarakat dalam proses perumusan kebijakan public harus diakomodatif oleh pemegang kebijakan. Transparasi dan akuntabilitas dari kebijakan public harus benar bias dipertanggungjawabkan. Prinsip dasar bagi kebijakan public seharusnya menempatkan masyarakat sebagai subyek keijakan bukan dijadikan obyek dari kebijakan yang ada.
Restribusi parkir berlanganan bisa menjadi kebijakan public yang bermanfaat secara ekonomi maupun sosial, dimana PEMDA Banyuwangi dapat memperoleh PAD yang lebih besar yang pada akhirnya bisa memberikan kontribusi pada besaran anggaran penerimaan APBD, diharapkan dengan bertambahnya kontribusi pendapatan PAD dari Parkir berlanganan ini bisa menjadikan Kabupaten Banyuwangi lebih sejahtera. Selain itu Parkir berlangganan bisa dijadikan alternative dalam pengelolaan tempat-tempat parkir yang ada dan pengawasan terhadap kegiatan parkir liar. Secara langsung dapat menjadi sarana pengendalian, pengawasan dan penertipan sarana perparkiran yang ada di daerah Banyuwangi.

Rekomendasi
1. Implementasi kebijakan public bisa berjalan dengan berhasil bila kebijakan tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat.
2. Parkir berlangganan bisa menjadi alternative positif dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).
3. Penertiban petugas parkir liar harus dilakukan agar tidak mengangu dan merendahkan citra petugas parkir yang resmi.
4. Hasil dari PAD sector parkir ini hendaknya digunakan untuk membangun fasilitas parker yang representative dan aman.


Daftar Pustaka
Afadlal (ed). 2003.Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah. Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI.
Brata Kusuma, Deddy Supriadi, 2001, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Gomes, Faustino Cardoso, (1995), Manajemen Sumber Daya Manusia, Andi Offiset, Yogyakarta.
Kaho, Josef Riwu, (1998), Prosfek Otonomi Daerah di Negara Indonesia, Rajawali, Jakarta.
Syaukani, HR dan Affan Gaffar, Ryas Rasyid. 2003, Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Jurnal /Surat Kabar/Majalah :
Jurnal Prisma No 4 April 1995 (tahun XXII). Dilema Otonomi dan Ketergantungan. Jakarta: LP3ES

Rabu, 07 Desember 2011

KEBERPIHAKAN INTELEKTUAL


Intelektual Seharusnya Berpihak

Penulis
Totok Budiantoro,S.Sos

            Kedudukan intelektual sebagai individu dan intelektual sebagai anggota masyarakat berada dalam satu struktur kesatuan. Dengan demikian dapat dikatakan intelektual adalah makhluk individu yang memasyarakat sekaligus makhluk sosial yang mengindividu. Menurut Soetriono (2007), Dalam diri pribadi setiap individu  itu ada kesadaran, pertama sadar akan dirinya sebagai pribadi  ciptaan Sang Pencipta yang menjadikan kehidupannya bergantung sepenuhnya kepada orang lain (Sampai taraf tertentu), kedua sadar akan dirinya yang juga memiliki potensi untuk hidup di atas otonomi dan kebebasannya.
            Intelektual sebagai individu, sama artinya intelektual sebagai manusia yang memiliki ciri istimewa, yaitu kemampuan berfikir yang ada dalam satu struktur dengan perasaan dan kehendaknya (Sehingga sering disebut sebagai makhluk yang berkesadaran). Aristoteles memberikan identitas sebagai animal rationale.
            Seorang intelektual seharusnya tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari sisi pandang ilmu itu sendiri. Intelektual harus melihat hakekat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan moral, dengan agama dan apakah ilmu itu membawa kebahagiaan kepada masyarakat dan lingkungannya.
           
Perbedaan Paradigma
            Paradigma sering diartikan sebagai kerangka referensi atau pandangan yang menjadi dasar keyakinan. Manusia intelektual untuk mengetahui ilmu pengetahuan, tidak perduli apakah ilmu pengetahuan itu berguna untuk dirinya atau tidak, sejarah telah membuktikan bahwa ada sekelompok manusia yang berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui sebab yang mendalam atas suatu obyek.
            Pada dasarnya tidak ada suatu pandangan atau teori yang bersifat netral dan obyektif, melainkan salah satunya sangat bergantung pada paradigma yang mendasarinya. Oleh karena itu jika dua orang melihat suatu relaitas sosial yang sama, akan menghasilkan pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap berbeda pula karena paradigma yang berbeda pula.
            Dalam pandangan paradigma menurut soetriono (2007), Paradigma postmodernisme tidak memiliki bentuk tubuh yang utuh seperti modernisme, postmodernisme merepresetasikan bersatunya unsur – unsur dari orientasi yang berbeda – beda dan bahkan betentangan, dalam melihat ilmu pengetahuan, postmodernisme melihat ilmu pengetahuan bersifat subyektif, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai atau terikat pada nilai. Postmodern menolak pandangan realitas yang mengasumsikan adanya kebebasan dari proses mental individu dan komunikasi intersubyektif (Resenau, 1992).
            Sementara paradigma  menurut pandangan modernisme mengklaim bahwa realitas eksternal dapat ditemukan, digambarkan dan dipahami, fakta yang mengatakan modernisme dapat menemukan realitas sebenarnya didasarkan pada pandangan realisme, realisme meyakini realitas sebagai dunia nyata yang tersusun atas struktur keras, berwujud dan relatif permanen (Burrel dan Morgan, 1979). Dalam konteks ini modernisme melihat realitas sosial sudah ada sebelum individu masuk, dan ilmu pengetahuan dianggap bebas dari nilai.
                                   
Refleksi Praktis Intelektual dan Realitas Sosial
            Ketika kita melihat bagaimana orang saling membunuh gara – gara berebut uang lima ribu rupiah, itu adalah realitas sosial. Ketika kita melihat bagaimana anggota DPR bagi – bagi duit korupsi milyaran rupiah, itu juga realitas sosial. Ketika orang miskin untuk makan sehari – hari saja kesulitan, sementara sikaya menghamburkan jutaan rupiah untuk sekali makan, Itu juga realitas sosial. Secara sederhana realitas sosial dapat kita terjemahkan sebagai kenyataan-kenyataan social budaya di sekitar lingkungan masyarakat tertentu.
            Tugas utama intelektual sebagai anggota masyarakat pada dasarnya tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga memungkinkan lahirnya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial, akan tetapi tugas intelektual harus mampu mengubah realitas sosial yang dianggap bermasalah dan tidak adil, menjadi realitas yang benar dan adil. Meskipun hal tersebut tidak mudah karena mengharuskan intelektual terjun langsung pada tataran praktek perjuangan lapangan (pengabdian) di masyarakat.
            Bagi seorang intelektual, dengan penelitian – penelitian yang telah dilakukan dan beberapa teori yang dia ketahui dan hafalkan seharusnya tidak berhenti pada sekedar pemahaman teoritis, tetapi bagaimana dengan pengetahuan yang dia miliki mampu merubah atau minimal mewarnai pada realitas yang sesungguhnya terjadi dimasyarakat dan menjadikannya benar dan adil.
            Ketika para intelektual mengetahui terjadi realitas sosial tentang ketidakadilan di masyarakat, intelektual seharusnya tidak berhenti sebatas tahu bahwa ada ketidakadilan dimasyarakat, tetapi dengan ilmunya intelektual harus berusaha merubahnya dengan intelektual yang dimilikinya. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi yang mencolok antara sikaya dan simiskin di negara ini, seharusnya intelektual juga berjuang mengatasinya dengan ilmu yang dimilikinya.
            Dalam persaingan antar negara yang sangat kompetitif sekarang ini bukan saatnya lagi bila intelektual mengatakan bahwa tugas intelektual sekedar  memahami realitas sosial dimasyarakat, sedangkan tugas untuk memperbaiki realitas sosial yang tidak benar ini adalah tanggung jawab pemerintah, tanggung jawab swasta, tanggung jawab mereka mereka yang terjun langsung pada tataran praktisi di masyarakat. Jangan – jangan alasan ketidak berpihakan intelektual kepada perbaikan realitas sosial hanyalah ketidak mampuan, ketidak beranian atau karena kemapanan sosial (Status sosial), berdiri di atas menara gading kepongahan intelektual. Yang jelas bangsa ini butuh intelektual, butuh aku, kamu dan kita semua untuk berjuang!.

  

INDONESIA SEDANG BERUBAH


Indonesia yang Berubah

Penulis
Totok Budiantoro,S.Sos

          Perubahan adalah kondisi yang menunjukkan perbedaan situasi sebelum dan sesudahnya oleh karena itu perubahan selalu terikat oleh dimensi waktu dan tempat. Sangat benar bila orang mengatakan bahwa sesuatu itu pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Secara umum perubahan social itu mengandung tiga unsur utama, yaitu perubahan pada factor alam, perubahan pada factor teknologi, perubahan pada factor budaya.

            Indonesia sebagai suatu Negara tidak lepas dari konteks perubahan social tersebut baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Perubahan social bisa berlangsung secara cepat (revolusi) atau berlangsung secara lambat (evolusi), perubahan sosial bisa juga mempunyai pengaruh yang besar dan perubahan sosial yang memiliki pengaruh kecil, perubahan social juga bisa direncanakan dengan dampak yang diharapkan demikian juga bisa menghasilkan dampak yang tidak diharapkan sebelumnya.
            Faktor – factor yang berubah dalam kehidupan social tersebut bisa berlangsung secara bersamaan dan memiliki pengaruh yang luar biasa, tetapi juga bisa berlangsung secara sendiri – sendiri dan memiliki pengaruh yang tidak nampak secara jelas atau laten.
            Sekarang yang menjadi pemikiran kita adalah apakah Indonesia berubah, kalau berubah yang mana yang berubah, perubahan apa yang terjadi di Indonesia dan memiliki pengaruh besar, perubahan mana yang berlangsung secara cepat, apakah ada perubahan social di Indonesia yang direncanakan dengan baik, apakah perubahan itu sudah sesuai dengan apa yang kita inginkan. Jangan – jangan perubahan itu berlangsung begitu saja, jangan – jangan perubahan social itu adalah sebuah takdir kehidupan bagi bangsa dan Negara ini tanpa kita berdaya untuk merencanakan, atau perubahan social itu sesuatu yang menyakitkan, atau bangsa kita ini tidak berubah, atau kita harus mati karena perubahan itu sendiri.
            Sebelum kita menganalisis lebih mendalam tentang perubahan, pemikiran kritis kita tentang perubahan harus mampu melihat dimensi perubahan dalam konteks kebaikan (kemaslahatan bangsa dan negara) dan dimensi perubahan yang menghancurkan kehidupan berbagsa dan bernegara, karena tidak semua perubahan itu berdimensi baik dan benar, terkadang perubahan itu lebih mengarah pada dimensi yang mengerikan yaitu menghancurkan dan mematikan sebagai kehidupan berbangsa dan bernegara.

Antara Perubahan dan Pembangunan di Indonesia
            Perbedaan yang mendasar antara perubahan dan pembangunan adalah perubahan bisa mengarah ke hal yang lebih baik bisa juga mengarah kepada hal – hal yang tidak baik dan benar tanpa adanya perencanaan, sementara itu pembangunan lebih diartikan sebagai suatu konsep perubahan yang lebih baik dan benar melalui perencanaan. Oleh karena itu pembangunan merupakan suatu konsep yang berlawanan dengan kata merusak dimana pembangunan merupakan upaya kearah yang lebih baik dan tidak boleh merusak hal hal yang sudah baik.
            Ketika pembangunan menjadi suatu model dalam perubahan sosial di Indonesia  diharapkan pembangunan mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945, alinea ke empat yang berbunyi pembangunan pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa  dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
            Itulah tujuan pembangunan dari konsepsi berbangsa dan bernegara sebagaimana konsepsi awal terbentuknya negara yang dimaksudkan bahwa negara ini dibentuk bukan untuk kepentingan kelompok atau kepentingan golongan tetapi negara dan bangsa ini dibentuk untuk kepentingan seluruh bangsa dan negara Indonesia.
            Pada tataran empirisme, seharusnya bisa dibedakan antara Indonesia berubah dan Indonesia membangun. Ketika kita mengatakan indonesia berubah artinya bahwa indonesia mengalami perubahan bisa kearah yang baik atau bisa ke arah yang tidak baik tanpa adanya perencanaan terdahulu, contohnya Indonesia berubah bisa berarti berubah menjadi negara yang penuh korupsi, berubah menjadi negara yang penuh teror, berubah menjadi negara yang tidak mampu melindunggi warga negaranya, berubah menjadi negara yang miskin, dan perubahan – perubahan lainnya. Tapi apakah perubahan itu yang kita harapkan dan kita rencanakan.
            Berbeda ketika kita mengatakan bahwa Indonesia membangun, artinya Indonesia berubah kearah yang lebih baik dan benar sebagaimana yang telah direncanakan sebelumnya. Dengan pembangunan diartikan bahwa Indonesia menjadi lebih maju, Indonesia menjadi lebih adil dan makmur, Indonesia lebih bermartabat dan Indonesia menjadi negara yang lebih sejahtera (walfare state).
            Kalau perubahan faktor alam diterjemakan sebagai pembangunan alam Indonesia, seharusnya alam Indonesia ini lebih bermanfaat untuk warga negaranya sendiri, alam digunakan sebagai modal pembangunan berbamgsa dan bernegara. Sebagaimana yang sudah jelas jelas diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Indonesia uang berbunyi, bumi dan air dan kekayaan alam yang lain yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar besarnya untuk masyarakat Indonesia.
            Jadi salah ketika kita menterjemahkan pembangunan alam Indonesia dengan cara mengeksploitasi alam tanpa kendali, atau merusaknya, atau bahkan menjualnya untuk kepentingan asing yang dengan alasan apapun. Indonesia membangun alamnya artinya Indonesia berfikir tentang pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable development) bukan hanya untuk kepentingan kita sesaat saja, tetapi harus diinggat alam juga sebagai warisan generasi mendatang.
            Kalau perubahan tekhnologi diartikan sebagai pembangunan tekhnologi Indonesia, artinya bahwa kita perlu tehnologi untuk membangun bangsa ini, kita tidak boleh tergantung dengan tekhnologi bagsa lain, kita tidak boleh hanya menjadi konsumen tekhnologi tetapi juga harus sebagai produsen dari tekhnologi itu sendiri. Rentetan dari pembangunan tehnologi mengharuskan negara Indonesia untuk mempersiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni untuk tidak hanya sebagai operator saja tetapi juga sebagai inovator tekhnologi di dalamnya.
            Tekhnologi apapun bentuknya pada dasarnya merupakan alat yang membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tekhnologi sebagai suatu alat seharusnya dibawah kendali manusia yang menggunakannya, bukan sebaliknya dimana tekhnologi mengendalikan manusia dalam peri kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tidak boleh memaksakan tekhnologi yang justru bertentangan dengan nilai – nilai alamiah Indonesia, tekhnologi yang justru akan menghancurkan sendi – sendi berperi kehideupan masyarakat dan berbangsa.
            Dalam kaitan perubahan budaya sebagai suatu pembangunan Indonesia, mengharuskan bangsa Indonesia untuk mengakomudir wujud kebudayaan yang menurut J.J. Honingmann berwujud ides, aktivities dan artifacts, menjadi satu kesatuan maujud dari entitas bangsa. Bentuk ideas yang berpengaruh penting dalam pembangunan negara dan bangsa tentu saja salah satunya terkait ideologi Negara.  Sebuah ideologi adalah jati diri dalam pola perilaku dan acuan perilaku warga negara yang sesuai dengan etika dan norma bangsa.
            Dalam konteks persaingan ideologi sekarang ini, kemenangan sebuah ideologi bukan ditentukan oleh baik dan benarnya suatu ideologi tersebut. Tetapi lebih ditentukan oleh siapa yang mendukung ideologi tersebut, ideologi tersebut akan memenangkan persaingan bila  didukung oleh kekuasaan apalagi bila dilegitimasi oleh kaum intelektual yang berpihak.
            Kebudayaan sebagai bentuk aktivitas bangsa yang membangun, sudah seharusnya mengedepankan produktivitas bangsa sebagai aspek tujuan utamanya. Warga negara sudah harus berfikir seberapa banyak yang bisa diberikan oleh dirinya kepada bangsa ini, yang diberikan kelompoknya kepada bangsa ini, bukan malah sebaliknya menjadi beban negara dengan menggerogoti apa yang dimiliki oleh bangsa dan negara ini.
            Kebudayaan sebagai maujud artifacts meliputi seluruh kebendaan yang menjadi identitas pembangunan bangsa dan negara ini, pembangunan infrastruktur negara ini merupakan artifacts dari bangsa ini. Persoalan pembangunan artifacts bukan hanya persoalan seberapa megah dan seberapa mahal proyek yang dijalankan, tetapi juga meliputi bagaimana sebuah proses proyek itu dilakukan. Sebuah proses pembangunan artifacts bangsa meliputi dari proses perencanaan sampai proses evaluasi kebijakan. Jangan sampai artifacts bangsa ini dibuat melalui proses yang menyakitkan yang ujung ujungnya adalah simbul kebendaan semata dan alat untuk mencari keuntungan oleh seseorang atau sekelompok orang.

Visi Ideologis Pembangunan
            Tuntutan akan perlunya pemahaman mengenai paradigma pembangunan, menjadikan bangsa ini wajib mengidentifikasi dan memberikan skala prioritas dalam menangani masalah – masalah berbangsa dan bernegara. Lemahnya visi ideologis dan teori mengenai pembangunan sebagai perubahan sosial berpengaruh pada metodologi yang diterapkan. Sering dalam proses kebijakan menempatkan masyarakat sebagai obyek, padahal pembangunan bangsa seharusnya bercita – cita untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai subyek dari pembangunannya sendiri.
            Ketidak jelasan visi ideologis pembangunan negara ini menjadikan inkonsistensi antara cita – cita dan implementasi kebijakan pembangunan. Ketidak jelasan visi ideologis juga telah mengakibatkan hambatan peran atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan, yaitu peran masyarakat sipil (civil society) sebagai pelaku sejarah utama dalam upaya demokratisasi ekonomi, politik, budaya, gender serta aspek sosial lainnya.
            Yang seharusnya juga dipahami tentang visi ideologis pembangunan adalah ditegakkannya prinsip – prinsip pembangunan yang memperhatikan perkembangan kemanusiaan secara utuh, yang memiliki sensitivitas kultural terhadap kelompok – kelompok minoritas, serta pembangunan yang memberi ruang bagi penentuan nasib sendiri bagi kaum marginal. Pembangunan sebagai konsep perubahan sosial mendatang seharusnya menghormati kedaulatan bangsa dan rakyat, serta suatu proses sosial yang dibangun atas sensitivitas ekologi yang sustainable, serta penghormatan atas hak – hak asasi manusia baik hak – hak sipil politik maupun hak sosial ekonomi budaya.
            Yang jelas pembangunan bangsa sebagai suatu proses perubahan sosial memerlukan kita semua untuk saling bahu membahu membangun bangsa dengan segala konsekwensi dan resikonya. Pembangunan bangsa dan negara harus mengedepankan kepentingan umum (publik) diatas kepentingan pribadi dan golongan. Pembangunan bangsa ini membutuhkan bantuan aku, kamu dan mereka!



   

GAGALNYA REFORMASI


Reformasi: Revolusi Sosial yang Gagal di Indonesia?


Penulis:
Totok Budiantoro,S.Sos

            Ketika reformasi digulirkan tahun 1998-an di Indonesia, banyak harapan-harapan  tentang kebebasan bangsa dan negara dari kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Tapi apa yang terjadi setelah reformasi digerakkan, kemerdekaan bangsa dan Negara dari belenggu KKN bukannya bertambah baik tetapi semakin bertambah memprihatinkan. Secara sederhana indikasi ini dapat kita lihat dari beberapa survey dan penelitian lima tahun terakhir yang menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat terburuk di Asia dalam penegakan hukum (Surya, 2005), daya saing global Indonesia yang menduduki peringkat 56 kalah jauh dibandingkan Negara Asean lain seperti Malaysia yang menduduki peringkat 28 dan Singapura yang menduduki peringkat 3 Dunia (Jawa pos, 2005), tingkat indeks korupsi di Indonesia yang menunjukkan terburuk di Asia dan beberapa prestasi kegagalan lain tentang arti bangsa dan Negara yang sejahtera (walfare state).
            Di bidang politik, beberapa catatan suram juga banyak dijumpai dalam lembaran sejarah  setelah reformasi digulirkan. Jumlah partai yang banyak setelah reformasi merupakan konsekwensi harga demokrasi yang harus dibayar mahal oleh bangsa ini. Mahal dalam arti materi dalam pembiayaan penyelenggaraannya oleh keuangan Negara, juga mahal dalam arti energi yang harus ditumpahkan oleh anak bangsa dalam menjalankannya. Meskipun demokrasi yang dihasilkan masih dalam bentuk demokrasi  instrumental belum menunjukkan demokrasi yang substansial. Dan masih banyak lagi cerita suram sepanjang awal tahun ini dengan kebohongan di KPU, kebohongan di Mahkamah konstitusi yang notabene adalah lembaga tinggi negara yang seharusnya jauh dari bau – bau busuk tentang kebohongan publik. Belum lagi jambu (janji – janji busuk), meminjam istilah sebuah lagu populer, dari para wakil rakyat terhadap janji – janji sebelum kampanye dan kenyataan setelah terpilih jadi wakil rakyat baik di Pilpres, Pilgub, Pilkada maupun pemilihan wakil – wakil dari legeslatif.
            Kegagalan itu semakin memiriskan ketika kita melihat bagaimana jumlah penganguran di Indonesia yang semakin banyak, terorisme yang semakin merajalela, pelayanan publik yang dari tahun ketahun tidak menunjukkan perubahan yang semakin baik, dan masih banyak catatan suram di negeri ini raport merah setelah reformasi digulirkan.
            Sekarang pertanyaannya kita sebagai anak bangsa, apakah reformasi kita sudah benar – benar gagal, apakah reformasi merupakan suatu perubahan yang direncanakan, apakah reformasi merupakan revolusi sosial yang gagal, atau jangan – jangan ini sebuah takdir!

Reformasi: Revolusi sosial
            Revolusi sosial adalah perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara. Kalau karl marx menterjemahkan revolusi sosial sebagai motor pengerak sejarah (Theda Skocpol, 1991). Sering terjadi bahwa revolusi sosial merupakan momentum dalam sejarah dunia modern. Theda Skocpol telah mencatat dalam bukunya, istilah revolusi bermula di Perancis 1790-an, kemudian berlanjut sampai di vietnam pada pertengahan abad keduapuluh, dan yang baru baru ini di beberapa negara di kawasan timur tengah, revolusi telah membawa perubahan pada organisasi negara, struktur kelas sosial dan ideologi yang dominan.
            Revolusi telah melahirkan banyak negara yang memiliki kekuasaan dan otonomi yang jauh melebihi kekuasaan dan otonomi mereka sebelum revolusi. Revolusi perancis telah mengubah negara perancis menjadi kekuatan penakluk di Benua Eropa, Revolusi Rusia telah membangkitkan negara Rusia menjadi negara adidaya industri dan militer, Revolusi Meksiko menjadikan negara itu salah satu negara berkekuatan politik dan pasca penjajahan yang maju industrinya dan menjadi negara Amerika latin yang paling jarang mengalami kudeta militer. Dalam catatan Theda Skocpol (1991), beberapa kasus revolusi sosial telah memunculkan model – model dan cita – cita yang mempunyai dampak dan daya tarik internasional yang sangat besar, khususnya apabila negara yang mengalami perubahan itu mempunyai kekuatan besar yang secara geopolitik penting, aktual atau potensial.
            Setelah revolusi Perancis, angkatan bersenjata Perancis yang patriotik menguasai sebagian besar daratan Eropa. Demikian juga Revolusi Rusia telah membuat negara kapitalis barat tercengang dan menjadi motivator ambisi bangsa – bangsa yang sedang tumbuh dengan cara menunjukkan bahwa suatu kekuatan negara revolusioner dapat merubah negara pertanian yang terbelakang  menjadi negara yang kekuatan industri dan militernya ditakuti dunia.
            Revolusi kemerdekaan Republik Indonesia, walaupun revolusi kemerdekan Republik Indonesia tahun 1945 tidak sampai menjadi kekuatan yang seperti negara perancis yang menguasai negara – negara sekitarnya, atau seperti negara Rusia yang menjadi negara dengan kekuatan militer yang ditakuti oleh bangsa – bangsa di dunia, setidaknya revolusi kemerdekan Republik Indonesia telah menginspirasi beberapa di kawasan Asia dan Afrika, pasca kemerdekaan sempat Indonesia disegani oleh beberapa Negara Di dunia. Bahkan menjadi salah satu pemimpin dalam usaha kemerdekaan bangsa – bangsa di Asia dan Afrika.
            Reformasi Indonesia sebagai revolusi sosial, apa yang terjadi dengan Negara Indonesia setelah terjadi Reformasi, apakah menjadi negara yang semakin meluas dan kuat, apakah revormasi menjadikan negara Republik Indonesia semakin dikdaya secara militer dan industri, apakah reformasi menjadikan negara semakin disegani oleh negara lain, apakah reformasi menjadikan negara ini menjadi inspirasi kebebasan dari kemiskinan dan keadilan bagi bangsa lain, apakah justru reformasi menjadikan kehancuran dan malapetaka bagi bangsa dan negara ini.
            Jangan – jangan reformasi kita sudah tidak benar lagi, yang justru menjadikan negara tidak semakin meluas malahan semakin menyempit seperti lepasnya Timor timur dan beberapa pulau di Indonesaia ke negara lain, Justru reformasi menjadikan bangsa kita tidak digdaya di bidang militer dan industri, anggaran militer semakin minim dan banyak industri yang pindah ke negara lain, jangan – jangan reformasi justru menjadikan bangsa ini tidak dihormati oleh bangsa lain seperti kasus TKI di Malaysia dan Arab saudi, jangan – jangan dengan reformasi yang kita lakukan menjadikan kita tambah miskin, tidak adil dan tidak berdaya?
            Pertanyaan – pertanyaan yang suram dan mengugat seperti tersebut diatas mahu tidak mahu harus kita pertanyakan ulang meskipun menyakitkan. Bangsa dan negara ini harus menata ulang tujuan dan buah yang dihasilkan dari reformasi yang terjadi. Jangan sampai reformasi sebagai perubahan sosial budaya tidak menuju kepada kesejahteraan tetapi malah menuju kehancuran yang mengenaskan dan mati.