Powered By Blogger

Kamis, 16 Juni 2011

Model - Model Kebijakan Publik


MODEL DALAM KEBIJAKAN PUBLIK


Model adalah representasi sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi masalah yang disusun untuk tujuan tertentu, model kebijakan biasanya dinyatakan dalam bentuk konsep teori, diagram, grafik atau persamaan matematika. Model kebijakan public harus memiliki karakteristik, sederhana dan jelas, ketepatan identifikasi aspek penting problem kebijakan, menolong untuk pengkomunikasian, usaha langsung untuk memahami kebijakan public secara lebih baik (manageable) dan memberikan penjelasan & memprediksi konsekwensi.
Menurut Yehezkel Dror, ada beberapa model pembuatan kebijakan yaitu; Pure rationality model, Economically rational model, Sequential-decision model, Incremental model, Satisfycing model, Extra-rational model, Optimal model. W.N. Dunn membagi tipe model kebijakan dalam dua perspektif. Pertama, Model deskriptif yaitu menjelaskan implementasi sebab dan konsekwensi pilihan kebijakan, contoh, model indikator social. Kedua, Model normative yaitu menjelaskan, memprediksi, merekomendasi optimalisasi usaha contoh, model antrian, model biaya manfaat dan lain sebagainya. E.S. Quade membagi kategori model kebijakan kedalam beberapa bentuk; Model analitik, untuk situasi yang kompleks, digunakan dalam riset operasi; Model simulasi, merupakan bentuk eksperimen semu, model analog, penggunaan computer; Model permainan, manusia terlibat langsung, permainan perang-perangan, keterlibatan secara simultan; Model penilaian, tidak eksplisit (ekspresi verbal, berbentuk analogi), banyak dalam pikiran, model mental, misalnya karakteristik organisasi.

Beberapa Model Terpilih
            Ada beberapa model terpilih dimana setiap model memiliki focus yang berbeda tentang kondisi politik dan membantu memahami berbagai perbedaan tentang kebijakan public. Beberapa model terpilih tersebut adalah:
a. Model Institusional, menjelaskan bagaimana peraturan pemerintah dengan institusi pemerintah sangat dekat. Sesuatu kebijakan tidak akan menjadi peraturan pemerintah kecuali jika diformulasikan, implementasi dan dipaksakan oleh lembaga pemerintah, lembaga pemerintahan memberikan tiga cirri utama, legitimasi, universalitas dan paksaan.  Masyarakat harus patuh karena adanya legitimasi politik dan berhak memaksakan peraturan pemerintah tersebut.
b. Model elit – massa, model ini merupakan abstraksi dari suatu pembuatan peraturan pemerintah yang identik dengan perspektif elite politik. Isu kebijakan yang akan masuk agenda perumusan kebijakan merupakan kesepakatan dan juga hasil konflik yang terjadi di antara elit politik sendiri.
c. Model Inkremental, para pembuat kebijakan pada dasarnya tidak mau melakukan peninjauan secara konsisten terhadap seluruh kebijakan yang dibuatnya dan lebih suka berbuat secara incremental. Kecenderungan ini dikarenakan para pembuat keputusan tidak punya waktu, intelektual, maupun biaya untuk penelitian terhadap nilai nilai social masyarakat dan menghindari konflik jika harus melakukan proses negoisasi yang melelahkan bagi kebijakan baru.
d. Model Group Theory, model kelompok merupakan abstraksi dari proses pembuatan kebijakan dimana beberapa kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. Dengan demikian pembuatan kebijakan terlihat sebagai upaya untuk menanggapi tuntutan dari berbagai kelompok kepentingan dengan cara bargaining, negoisasi dan kompromi. Tuntutan tuntutan yang saling bersaing di antara kelompok-kelompok yang berpengaruh dikelola, sebagai hasil persaingan antara berbagai kelompok kepentingan pada hakikatnya adalah keseimbangan yang tercapai dalam pertarungan antar kelompok dalam memperjuangkan kepentingannya masing masing pada waktu tertentu.
e. Model System theory, pendekatan model ini diperkenalkan oleh David Easton yang melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antara organisme dengan lingkungannya yang akhirnya menciptakan kelangsungan dan perubahan hidup yang relative stabil. Ini kemudian yang dianalogikan dengan kehidupan sistem politik.
f. Model Rasional, kebijakan rasional diartikan sebagai kebijakan yang mampu mencapai keuntungan social tinggi, hasil kebijakan harus memberikan keuntungan bagi masyarakat yang telah membayar lebih dan pemerintah mencegah kebijakan bila biaya melebihi manfaatnya. Untuk memilih kebijakan rasional, pembuat kebijakan harus mengetahui semua keinginan masyarakat dan bobotnya, mengetahui semua alternative yang tersedia, mengetahui konsekwensi alternative, menghitung rasio pencapaian nilai social pada setiap alternative, memilih alternative kebijakan yang paling efisien.
g. Model proses, aktifitas politik dilakukan melalui kelompok yang memiliki hubungan dengan kebijakan public, hasilnya adalah suatu proses kebijakan yang berisi, identifikasi/ pengenalan masalah, perumusan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan dan evaluasi kebijakan.
h. Model pilihan public, kapan opini public seharusnya menjadi factor penentu terpenting yang sangat berpengaruh pada kebijakan public, seharusnya ada keterkaitan antara opini public dengan kebijakan public (Opinion-policy linkage).


Model-model Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)
Menurut Parsons (2006), model implementasi inilah yang paling pertama muncul. Pendekatan top down memiliki pandangan tentang hubungan kebijakan implementasi seperti yang tercakup dalam Emile karya Rousseau : “Segala sesuatu adalah baik jika diserahkan ke tangan Sang Pencipta. Segala sesuatu adalah buruk di tangan manusia”.
Masih menurut Parsons (2006), model rasional ini berisi gagasan bahwa implementasi adalah menjadikan orang melakukan apa-apa yang diperintahkan dan mengontrol urutan tahapan dalam sebuah sistem.
Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Ratmono (2008), berpendapat bahwa implementasi top down adalah proses pelaksanaan keputusan kebijakan mendasar. Beberapa ahli yang mengembangkan model implementasi kebijakan dengan perspektif top down adalah sebagai berikut :




1. Van Meter dan Van Horn
Menurut Meter dan Horn (1975) dalam Nugroho (2008), implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variable yang mempengaruhi kebijakan public adalah sebagai berikut :
1. Aktifitas implementasi dan komunikasi antar organisasi
2. Karakteristik agen pelaksana/implementor
3. Kondisi ekonomi, social dan politik
4. Kecendrungan (dispotition) pelaksana/implementor

2. George Edward III
Menurut Edward III (1980) dalam Yousa (2007), salah satu pendekatan studi implementasi adalah harus dimulai dengan pernyataan abstrak, seperti yang dikemukakan sebagai berikut, yaitu :
1. Apakah yang menjadi prasyarat bagi implementasi kebijakan ?
2. Apakah yang menjadi faktor penghambat utama bagi keberhasilan implementasi kebijakan?
Sehingga untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, Edward III, mengusulkan 4 (empat) variable yang sangat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu :
1. Communication (komunikasi) ; komunikasi merupakan sarana untuk menyebarluaskan informasi, baik dari atas ke bawah maupun dari bawah ke atas. Untuk menghindari terjadinya distorsi informasi yang disampaikan atasan ke bawahan, perlu adanya ketetapan waktu dalam penyampaian informasi, harus jelas informasi yang disampaikan, serta memerlukan ketelitian dan konsistensi dalam menyampaikan informasi

2. Resourcess (sumber-sumber) ; sumber-sumber dalam implementasi kebijakan memegang peranan penting, karena implementasi kebijakan tidak akan efektif bilamana sumber-sumber pendukungnya tidak tersedia. Yang termasuk sumber-sumber dimaksud adalah :
a. staf yang relatif cukup jumlahnya dan mempunyai keahlian dan keterampilan untuk melaksanakan kebijakan
b. informasi yang memadai atau relevan untuk keperluan implementasi
c. dukungan dari lingkungan untuk mensukseskan implementasi kebijakan
d. wewenang yang dimiliki implementor untuk melaksanakan kebijakan.
3. Dispotition or Attitude (sikap) ; berkaitan dengan bagaimana sikap implementor dalam mendukung suatu implementasi kebijakan. Seringkali para implementor bersedia untuk mengambil insiatif dalam rangka mencapai kebijakan, tergantung dengan sejauh mana wewenang yang dimilikinya
4. Bureaucratic structure (struktur birokrasi) ; suatu kebijakan seringkali melibatkan beberapa lembaga atau organisasi dalam proses implementasinya, sehingga diperlukan koordinasi yang efektif antar lembaga-lembaga terkait dalam mendukung keberhasilan implementasi.

3. Mazmanian dan Sabatier
Mazmanian dan Sabatier (1983), mendefinisikan implementasi sebagai upaya melaksanakan keputusan kebijakan, sebagaimana pendapat mereka :
“Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually incorporated in a statute but wich can also take the form of important executives orders or court decision. Ideally, that decision identifies the problem(s) to be pursued, and, in a vaiety of ways, ‘structures’ the implementation process”.
Menurut model ini, implementasi kebijakan dapat diklasifikan ke dalam tiga variable, yaitu (Nugroho, 2008) :
a. Variabel independen : yaitu mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indicator masalah teori dan teknis pelaksanaan, keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.
b. Variabel intervening : yaitu variable kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indicator kejelasan dan konsistensi tujuan
c. Varaibel dependen : yaitu variable-variabel yang mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indicator kondisi social ekonomi dan teknologi, dukungan public, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi dan komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana

5. Model Grindle
Menurut Grindle (1980) dalam Wibawa (1994), implementasi kebijakan ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan. Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut.
Isi kebijakan, mencakup hal-hal sebagai berikut :
1. Kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan
2. Jenis manfaat yang akan dihasilkan
3. Derajat perubahan yang diinginkan
4. Kedudukan pembuat kebijakan
5. Pelaksana program
6. Sumber daya yang dikerahkan

Sementara itu, konteks implementasinya adalah :
1. Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat
2. Karakteristik lembaga dan penguasa
3. Kepatuhan dan daya tanggap
Model Grindle ini lebih menitik beratkan pada konteks kebijakan, khususnya yang menyangkut dengan implementor, sasaran dan arena konflik yang mungkin terjadi di antara para aktor implementasi serta kondisi-kondisi sumber daya implementasi yang diperlukan.

Implementasi Kebijakan Bottom Up
Model implementasi dengan pendekatan bottom up muncul sebagai kritik terhadap model pendekatan rasional (top down). Parsons (2006), mengemukakan bahwa yang benar-benar penting dalam implementasi adalah hubungan antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan. Model bottom up adalah model yang memandang proses sebagai sebuah negosiasi dan pembentukan consensus. Masih menurut Parsons (2006), model pendekatan bottom up menekankan pada fakta bahwa implementasi di lapangan memberikan keleluasaan dalam penerapan kebijakan.

Ahli kebijakan yang lebih memfokuskan model implementasi kebijakan dalam persfektif bottom up adalah Adam Smith. Menurut Smith (1973) dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses atau alur. Model Smith ini memamndang proses implementasi kebijakan dari proses kebijakan dari persfekti perubahan social dan politik, dimana kebijakan yang dibuat oleh pemerintah bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau perubahan dalam masyarakat sebagai kelompok sasaran.
Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu :
1. Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya
2. Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3. Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan.
4. Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik.


Daftar Pustaka
Naisbitt, John, Global Paradox, New York : Avon Books, 1993

E-Learning: Combines Communication, Education, Information, and Training. http://ww.cisco.com/warp/public/10/wwtraining/elearning. Cuban, L. (1996).

Beberapa sumber dari majalah dan Internet.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar